Mencari Lailatul Qadr di Melaka

Dentam irama musik pop dari cafe, berjarak tiga pelemparan batu Masjid Kampung Keling tidak menggoyahkan kekhusukan kami para jamaah dalam melaksanakan sholat tarawih yang kemudian berlanjut pelaksanaan itiqaf di malam kedua dari sepuluh hari terakhir (lailatul qadar) di bulan Ramadhan 1444 H (April 2023). Masjid Kampung Keling yang berada ditengah-tengah perkampungan turis merupakan salah satu dari masjid tertua di Melaka yang masih digunakan dan dinyatakan sebagai Warisan Kebangsaan.

Melaka merupakan sebuah Negara Bagian dari Kerajaan Malaysia. Melaka bermula dari Kesultanan Melaka, kerajaan bercorak Islam. Didirikan sekitar tahun 1400-an sebelum akhirnya dikuasai Portugis pada 1511. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Melaka didirikan oleh Parameswara yang adalah putra Raja Sam Agi dari Sriwijaya. Saat mendirikan Kerajaan Melaka ia masih menganut agama Hindu. Parameswara baru memeluk Islam sekitar tahun 1414. Ia kemudian berganti nama menjadi Muhammad Iskandar Syah.

Kerajaan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477). Pada masa inilah Melaka menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara. Letak kerajaan yang di jalur perairan Selat Melaka merupakan lokasi strategis di tengah tengah perjalanan antara Negeri Cina dan Negeri India dan pintu masuk ke lokasi pusat penghasil rempah rempah di Indonesia. Melaka menjadi daya pikat para saudagar wilayah Timur Asia.

Masjid Kampung Keling sesuai petunjuk dalam peta informasi bagi turis berada di wilayah Jonker Walk. Jonker Walk salah satu obyek wisata di kota tua Melaka yang menyandang status UNESCO World Haritage City mulai 07 Juni 2008. Masjid dengan menara berwarna hijau menandai berdirinya Masjid Kampung Keling, diluar masjid berdiri papan informasi sejarah singkat masjid. Masjid Kampung Keling dibangun oleh para pedagang Muslim India pada 1748.

Masjid ini masih mempertahankan desain aslinya. Desain arsitekturnya menggabungkan banyak pengaruh Sumatra, Cina, Hindu, Melayu. Ada yang unik dari masjid ini selain bangunan menara yang mirip pagoda, ditemui tempatberwudhu tidak seperti biasanya. Tempat berwudhu tersebut menggunakan kolam langsung, dan tidak menggunakan keran seperti pada masjid masjid lainnya.

Siang itu suhu panas terik, kami terus menyusuri jalan untuk menziarahi masjid tertua lainnya yaitu Masjid Kampung Hulu. Duapuluh menit kemudian kami sampai di Masjid Kampung Hulu yang berada di kawasan Kampung Hulu. Masjid yang dibangun pada tahun 1728 ini juga diakui sebagai Warisan Kebangsaan.

Desain arsitektur masjid merupakan juga persilangan Cina, Hindu, Melayu, Sumatra. Kubah semi bulat yang lebih dikenal dan biasa digunakan di masjid tidak terlihat. Sebaliknya, masjid tua ini sebagaimana Masjid Kampung Keling juga menampilkan atap yang dikenal sebagai atap Meru tiga tingkat. Atap Meru menyimbolkan tiga tingkatan dalam agama Islam yaitu : Iman, Islam, Ihsan. Bangunan juga memiliki menara berbentuk pagoda yang dengan jelas mencerminkan elemen arsitektur Cina.

Bila Masjid Kampung Keling dan Masjid Kampung Hulu adalah masjid tertua dengan arsitektur bersilang, Masjid Selat Malaka (2006) menjadi masjid yang bukan saja cantik tapi juga unik. Mengapung di selat terpanjang dunia.

Seperti namanya, masjid ini berada di tepian Selat Melaka. Konstruksi bangunan memiliki tiang pondasi tertancap di dasar laut. Saat laut pasang, masjid  akan terlihat mengapung. Ini mengapa julukannya masjid terapung sebagaimana juga bisa kita saksikan di masjid terapung Jeddah Arab Saudi, masjid terapung Makassar (Masjid Amirul Mukminin) atau masjid terapung di Pulau Ternate Masjid Al Munawwar yang berlatar belakang Gunung Gamalama. Namun pembeda dari masjid terapung Melaka ini adalah keindahan arsitektur gabungan gaya Melayu dan Timur Tengah.

Naskah dan Foto : Lutfi Djoko D (lutfidjoko@gmail.com)

Tinggalkan komentar