Melongok Museum Multatuli, Terpaut Jarak Terikat Rasa

Hanya ada dua museum Multatuli di dunia yaitu di Amsterdam, Belanda dan di Rangkasbitung, Banten. Hal inilah yang membuat unik, keberadaan Museum tersebut merupakan saksi antikolonialisme oleh meneer Belanda kepada negaranya, menjadi penanda gugatannya terhadap kolonialisme Belanda.

Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, nama Multatuli berangkat dari bahasa Latin , Multa Tuli, yang berarti aku telah banyak menderita. Beliau penulis Belanda yang terkenal dengan karyanya Max Havelaar, novel semi biografi yang mengisahkan penindasan kolonial terhadap kehidupan  bumiputra lewat pendekatan yang satiris. Novel tersebut pertama kali terbit pada tahun 1860 dan telah diterjemahkan dalam 40 bahasa di dunia. Eduard memiliki saudara bernama Jan yang merupakan kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernst Douwes Dekker yang dikenal dengan nama Danudirdja Setiabudhi.

Museum Multatuli Amsterdam terletak di jalan Korsjespoortsteeg 20, tak jauh dari Stasiun Sentral Amsterdam. Untuk mencari museum tidaklah sulit, ada ruas jalan pendek kurang lebih 50 meter yang kedua ujungnya memiliki portal dan hanya berjarak dua puluhan rumah di Kawasan ini. Gedung bertingkat tiga berukuran 4×10 m ditambah sebuah kelder (ruang bawah tanah) dan zolder (loteng) khas rumah orang orang Belanda, disitulah museum Multatuli Amsterdam berada. Museum tersebut dahulunya merupakan rumah tempat kelahiran Multatuli di tahun 1820. Multatuli lahir sebagai anak keempat dari seorang ayah yang berprofesi kapten kapal Belanda.

Kurator museum, Drs. Willem L van Duijn, orang yang sangat ramah dan menguasai sejarah Multatuli, memandu kami selama kunjungan di awal bulan Nopember 2022 lalu. Beliau mengajak berjalan berkeliling seluruh bagian rumah tanpa terkecuali dari kelder hingga zolder. Di lantai atas museum terlihat meja kerja Multatuli dan bola dunia disertai beberapa foto keluarga, hal yang menarik adalah keberadaan sofa merah sederhana dan tidak mewah, tapi sangat terkenal, karena saat berbaring di sofa inilah Multatuli menghembuskan nafas terakhirnya. Dalam perjalanan hidupnya walaupun terlahir di Belanda, beliau menutup mata di Jerman tahun 1887.

Turun menuju kelder di dinding terpasang kronologi perjalanan karirnya selama di Hindia Belanda mulai dari Batavia, Natal Sumatera Utara, Padang, Kerawang, Purworejo, Menado, Ambon berakhir di Lebak Rangkasbitung sebagai asisten residen. Karena tidak tahan dan kecewa terhadap penindasan dan kekejaman yang dilakukan oleh penguasa lokal maupun kolonial terhadap rakyat Banten akhirnya ia mengajukan pengunduran diri sebagai asisten residen dan kembali ke Eropa.

Apa yang dilihatnya di Lebak menjadi inspirasi membuat karya sastra Max Havelaar. Sebab buku itulah, Hindia Belanda banyak mengalami perubahan mulai dari politik etis, lahirnya kaum intelektual, kebangkitan nasional hingga kemerdekaan Indonesia. Ruang bawah tanah (Kelder) banyak menyimpan pelbagai dokumentasi tentang Multatuli yang terserak di berbagai media masa, disimpan dalam ruangan bersuhu tetap dan sangat terpelihara. Meninggalkan museum berjalan menyusuri jalan sempit pada persimpangan kanal Singel, nampak bertengger di alas marmer merah, patung setengah badan Multatuli, patung perunggu bergaya kontemporer diresmikan bertepatan dengan peringatan 100 tahun kematian Multatuli di tahun 1987 oleh Ratu Beatrix. Patung ini semacam pengakuan terhadap dirinya.

Tinggalkan Amsterdam menjejakan kaki di Museum Multatuli Rangkasbitung yang berseberangan dengan alun alun kota Rangkasbitung. Anda akan disambut pendopo dan rumah berbentuk huruf T. Bangunan tahun 1923 ini semula berfungsi sebagai kantor sekaligus kediaman wedana Lebak.

Museum di rancang secara modern dengan audio visual dan interaktif, memiliki tujuh ruangan yang terbagi empat tema, sejarah datangnya kolonialisme ke Indonesia, Multatuli dan karyanya, sejarah Lebak dan Banten serta Rangkasbitung kini.

Berbeda dengan di Amsterdam yang terkenal sofa merahnya. Di Rangkasbitung tersimpan tegel/lantai rumah Multatuli di Lebak. Kurator museum kang Hendra lulusan S1 dan S2 program Pendidikan Sejarah Universitas Gajah Mada, menjelaskan, tegel tersebut diselamatkan seorang turis Belanda pada 1980-an sebelum bangunannya dibongkar.

Tegel kemudian ia serahkan kepada Perhimpunan Multatuli di Belanda. Ada dua tegel yang terselamatkan satu tetap disimpan di Belanda dan satunya lagi dipamerkan di Museum Multatuli Rangkasbitung.

Naskah & Foto : Lutfi Djoko D (lutfidjoko@gmail.com)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s