Coen-Daendels-Van Heutsz, Pahlawan di Belanda, Penjahat di Indonesia

Pagi menyenangkan, cuaca nan cerah namun tetap terasa dingin di pertengahan Nopember 2022. Amsterdam menyongsong musim dingin, tujuan wisata kami kali ini ke pasar jalanan Albert Cuyp dengan menumpang trem nomor 24 dari penginapan mengarah Stasiun Sentral Amsterdam. Sibuk mencari halte perhentian mengintip jendela trem, terlihat bangunan mencuri perhatian yaitu patung patung di lantai empat gedung arsip kota Amsterdam “stadsarchief”. Bagi wisatawan umum, bangunan berikut grup patung tersebut mungkin tidak istimewa, tapi bagi kami menjadi istimewa. Siapakah gerangan tokoh dalam 3 patung penuh badan tersebut?. Setelah mencari informasi melalui media sosial, ternyata patung patung tersebut adalah para mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda : JP. Coen, HW. Daendels dan JB Van Heutsz.

Sebelum menceritakan 3 patung tersebut, bangunan gedung itu sendiri menyimpan catatan sejarah yang tidak kalah panjang. Dibangun dengan gaya yang disebut “brick expressionism”, arsitek Karel de Bazel merancang gedung untuk kantor pusat Nederlandshe Handel Maatschappij (NHM). Di Batavia, kantor NHM sekarang digunakan sebagai Museum Mandiri yang terkenal dengan eksotisme kaca patrinya. NHM merupakan perusahaan dagang Belanda yang menggantikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang bangkrut akibat korupsi yang dilakukan oleh pejabat VOC sendiri. Kelak NHM merupakan cikal bakal terbentuknya ABN Amro Bank yang merupakan bank terbesar ketiga di Belanda.

Kami tidak memiliki waktu cukup blusukan ke dalam gedung yang dijuluki “de spekkoek” (kue berlapis) itu, tapi dari luarpun banyak yang dapat digali selain patung-patung di atas. Pintu masuk utama diapit oleh 2 patung sosok wanita. Mata merunduk, kedua tangan terlipat sopan di dada dan bibir mengerucut disebut sebagai Insulinde. Multatuli atau Edward Douwes Dekker memberi nama Insulinde pada Hindia Belanda. Dalam Bahasa latin “Insulin” berarti pulau dan “Indie” untuk India, yang menjadikan Insulinde berarti Kepulauan India, patung mewakili sosok Asia, sedang patung sebelah kanan mewakili sosok Eropa. Di dua sudut jalan terpasang 2 relief menggambarkan pelayaran, perdagangan dan industry. Relief pertama tiga pelaut memegang tambang rantai jangkar serta jangkar. Pada sudut lain dua pria bersepakat dengan berjabat tangan disaksikan orang ketiga.

Jauh di atas sosok patung wanita, mantan 3 Gubernur Jenderal Hindia Belanda bertengger dengan gagah. Oleh rakyat Belanda mereka disebut para pendiri kemakmuran Hindia Belanda. Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal VOC keempat dan keenam. Pada usia 31 tahun diangkatsebagai Gubernur Jenderal. 30 Mei 1619 ia menaklukkan kota Jayakarta dan namanya diubah menjadi Batavia. Coen yang juga disebut sebagai peletak dasar kolonialisme Belanda di Indonesia, berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan alam Indonesia untuk keuntungan pribadi dan negerinya, selain itu dia tidak segan bertindak kejam terhadap siapapun yang menentang kebijakannnya. Seperti contoh pada tahun 1621, Ketika ia membantai sekitar 15.000 penduduk pulau Banda yang menentang monopoli VOC di Maluku.

Ditengah deretan patung, Herman Willem Daendels tokoh diktator yang kejam sehingga dijuluki jenderal Mas Galak. Daendels paling dikenal sebagai penggerak pembangunan Jalan Raya Pos (“Grote Weg”) yang awalnya ditujukan untuk kepentingan militer dan pos, setelah itu menjadi sarana mengangkut hasil rempah yang diambil dari pelbagai perkebunan di Jawa. Pembangunan jalan sejauh 1.000 kilometer memperkerjakan para pekerja rodi/paksa dalam waktu 1 tahun dari Anyer (Barat pulau Jawa) ke Panarukan (Timur pulau Jawa), pembangunan yang menghabiskan banyak nyawa. Gaya pemerintahan Daendels berbau militeristik mulai dari struktur hingga mengenakan pakaian seragam bergaya militer, sebuah praktik atribut seragam yang masih dilakukan hingga kini (Wikipedia). Daendels melakukan perombakan terhadap sistem peradilan. Ia melakukan pemisahan pengadilan menjadi 2 kelompok, pengadilan untuk orang Jawa dan pengadilan untuk orang Eropa, Cina dan Arab. Perubahan ini menimbulkan kekacauan yurisdiksi di antara pengadilan pengadilan yang berbeda, kelak pembagian golongan penduduk Indonesia mendapat dukungan yuridis di tahun 1847 dalam pasal 6-10 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie (AB) . Daendels telah menanam benih kebencian pada kolonialisme. Salah satunya, mendorong lahirnya Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830).

Di sebelah kanannya Joannes Benedictus van Heutsz. Karena banyaknya warga Aceh terbunuh pada masa pemerintahannya dalam perang Aceh, ia menjadi simbol pemerintahan kolonial. Bulan Maret 1873, pemerintahan Hindia Belanda memaklumatkan perang karena Kesultanan Aceh menolak tunduk pada kuasa kolonial. Untuk menaklukkan Aceh, van Heutsz mendapat bantuan nasehat dari Snouck Hurgronye, penasehat kolonial bidang bahasa bahasa Timur dan hukum Islam. Berkat aksinya di Aceh, pamor van Heutsz kian naik sampai puncak menjadi Gubernur Jenderal.

Snouck Hurgronye tidaklah asing dalam sejarah Indonesia namanya dikenal karena peran besarnya dalam membantu Belanda menaklukkan Aceh, berbekal pengetahuan agama Islam dan pengalaman bergaul dengan orang orang Aceh, ia berhasil memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam upaya menaklukkan Aceh. Snouck Hurgronye menuliskan informasi yang dia tahu mengenai kelemahan Aceh yang kemudian dibukukan berjudul De Atjehers (Orang Aceh). Sampai saat ini rumah di jalan Rapenburg 61 Leiden yang dua pelemparan batu dari Universitas Leiden itu masih menghargai nama besar bekas pemiliknya. Nama Snouck Hurgronye dengan huruf kapital masih terpahat di depan atas pintu masuk berplitur coklat rumah bertingkat tiga.

Perang Aceh terjadi karena Belanda ingin menguasai Aceh dimana kedudukannya akan semakin penting baik dari segi strategi perang maupun jalur perdagangan sejak Terusan Suez dibuka tahun 1869. Wikipedia mencatat perang Aceh yang berawal 1873 berakhir 1913. Para pemimpin perlawanan sekuler Aceh menyerah pada 1903, tapi perlawanan para ulama berlanjut hingga 1913. Perang puluhan tahun dan sangat berdarah, menelan korban jiwa dipihak Belanda 30.000 sedangkan dipihak Aceh 60.000-70.000.

Untuk mengenang van Heutsz didirikan sebuah monumen terletak di bagian Selatan Amsterdam. Untuk mencapai lokasi dapat menggunakan kembali trem nomor 24 dari Stasiun Sentral Amsterdam dan berhenti di halte Olympiaplein, monumen berada di belakang lapangan olahraga Olympiaplein. van Heutsz dipandang sebagai pemersatu wilayah jajahan Belanda di Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Monumen itu kemudian memang kontroversial karena mengagungkan sosok yang membuat ribuan rakyat Aceh terbunuh. Akhirnya nama monumen diubah menjadi “Monument Indie Nederland”.

Naskah dan Foto : Lutfi Djoko D (l.sriyono@gmail.com)

Tinggalkan komentar