Pasar Gedhe & Kelenteng Tien Kok Sie

Pagi hari nan cerah awal Juli 2022 sepanjang jalan protokol Slamet Rijadi suasana nyaman untuk gowes seli melintas di atas trotoar yang lebar, selancar melewati patung Brigjen (anumerta) Slamet Rijadi gagah tegak berdiri dengan mengacungkan pistol di tangan kanannya, sosok pahlawan nasional penumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) 1950, dan Komandan Brigade V/Panembahan Senopati dalam Serangan Umum 4 hari Surakarta (7 – 10 Agustus 1949) dengan hasil kemenangan pasukan Indonesia dan semakin memperkuat posisi tawar Indonesia sebelum memasuki Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Beliau tewas di Ambon dalam usia sangat muda 23 tahun.

Belok kiri melewati  patung Slamet Rijadi seberang Balaikota Solo dibangun  Tugu Pemandengan setinggi tiga meter. Bangunan tugu berbentuk segiempat mengerucut ke atas dengan empat lentera mengarah kesegala arah , tulisan dalam Wikipedia menyebut Tugu Pemandengan merupakan titik kosmologi budaya Jawa. Dari tata letaknya bisa terlihat ada Pasar Gedhe di sebelah Timur sebagai sifat duniawi yang terkait dengan hal ekonomi. Ada masjid Agung di sebelah Barat sebagai simbol  untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta selain itu poros tugu sebagai simbol visi raja yang luas.

Pasar Gedhe Harjonagoro, pasar terbesar di kota Solo yang selesai pembangunannya di tahun 1930 menempati areal lebih dari sepuluh hektar. Pasar dirancang seorang arsitek berkebangsaan Belanda Ir. Thomas Karsten yang juga merancang masjid Al Wustho Pura Mangkunegaran. Pasar terdiri atas dua bangunan yang dipisahkan jalan, masing masing dari kedua bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti singgasana yang memayunginya. Arsitektur pasar merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya Jawa. Karsten membuat interior bangunan dengan struktur benteng lebar dan panjang, salah satu contohnya ada pada tampilan sembilan jendela yang ada di muka pasar, atap yag dibuat cukup tinggi membuat kesan tak sumpek berada di pasar ini. Bangunan kedua dari Pasar Gedhe digunakan untuk kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU) yang sekarang lantai dasar diisi pedagang buah buahan sedang lantai atas penuh dengan kedai makan/minuman.

Memasuki lingkungan pasar akan sedikit membingungkan ketika melihat banyaknya etnis Tionghoa, ini disebabkan lantaran lokasi pasar yang berdekatan dengan Pecinan atau perkampungan masyarakat Tionghoa, para pedagang yang berjualan banyak yang keturunan Tionghoa pula.

Dibalik riuh dan sibuknya Pasar Gedhe, ditengah himpitan ruko ruko nan tinggi dan kaku, ada sebuah bangunan klasik berarsitektur Tiongkok yang didominasi warna merah dan emas, kelenteng Tien  Kok Sie namanya, terletak di Selatan pasar atau jalan RE Martadinata. Semua tahu keelokan kelenteng tapi, berapa banyak yang tahu jika bangunan khas Tionghoa itu disebut sebagai kelenteng tertua di Indonesia. Kelenteng konon dibangun antara tahun 1745-1748 dibangun bareng dengan pembangunan Keraton Kesunan. Dari luar, kelenteng itu tidak jauh berbeda dengan kelenteng pada umumnya, tanahnya adalah hibah Sunan Solo. Begitu menapakan kaki ke dalamnya, kelenteng tak ubahnya lorong waktu untuk kembali mengenang masa awal berdirinya kota Solo. Tak jauh dari kelenteng ditemui Sudirodiprajan tepatnya di Kampung Balongan merupakan Kawasan Tionghoa pertama di Indonesia.

Hampir semua struktur bangunan kelenteng masih asli, mulai dari dua arca singa penolak bala (Ciok Say) yang berjaga di luar gerbang, lukisan dewa penjaga pintu di dua arca naga yang mengapit bola mustika di puncak atap depannya, hingga enam pilar kayu jati berbentuk mengembang ke atas penyangga kuda kuda berhiaskan ukiran Naga, kayu tiang/pilar tersebut merupakan pemberian Sunan. Pembangunannya menggunakan system “knockdown” yang tidak menggunakan paku, tapi pasak.

Sepupu kami KRMH Daradjadi Gondodiprodjo seorang sejarawan tanah Jawa menjelaskan keberadaan kelenteng Tien Kok Sie selain sebagai tempat peribadatan juga menyimpan sejarah perekonomian kota. Bengawan Solo merupakan jalur perdagangan utama pulau Jawa abad 19. Meski Solo jauh dari laut, di kelenteng terdapat altar dewi laut Thian Siang Sing Bo.

Untuk diketahui, pada abad 18-19, sungai Pepe yang melintas di belakang kelenteng adalah anak Bengawan Solo, dan lewat Bengawan tersebut terhubung jalur perdagangan dengan kerajaan yang berada di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Dari muara Bengawan Solo di Laut Jawa pada abad 18, aliran sungai cukup besar untuk dilintasi kapal kapal niaga Tiongkok yang lazim disebut dengan istilah “Jung”.

Keberadaan altar Thiam Siang Sing Bo menunjukan bahwa masyarakat Tionghoa di Solo berdoa pada Dewi Laut demi keselamatan selama berlayar di Bengawan Solo dan menjadi salah satu petunjuk  kota Solo pernah dikenal sebagai kota pelabuhan. Demikian paparan akhir beliau, yang juga buyut dari RT. Wirorumboyo atau RT. Wiroguno Bupati Pambelah Juru Silem, pejabat yang diberi tugas Sunan  bertanggung jawab mengatur lalu lintas kapal serta penarikan cukai terhadap barang barang yang dibongkar di tahun 1920-1940. Kelenteng Sien Kok Sie merupakan bukti akulturasi budaya Tiongkok di Solo melalui penyebaran agama dan perdagangan.

Naskah: Lutfi Sriyono (l.sriyono@gmail.com)

Foto: Lutfi Sriyono & Djanggan Muladi

Tinggalkan komentar