Pesona Banyuwangi

Sampai beberapa tahun lalu, saya hanya mengenal Banyuwangi sebagai kota kabupaten paling timur di Pulau Jawa, kota transit bagi kendaraan yang akan menyeberang dari Pulau Jawa ke Pulau Bali melalui pelabuhan ferry Ketapang. Saya sudah beberapa kali melewati Banyuwangi saat menuju Bali melalui jalan darat dan ferry, namun tidak pernah terpikir untuk berwisata di Kabupaten Banyuwangi, karena tidak banyak informasi wisata yang ada sampai awal tahun 2000an.

Dalam beberapa tahun terakhir, pariwisata di Banyuwangi mulai menggeliat. Beberapa obyek wisata andalan seperti Kawah Ijen yang berwarna hijau tosca, dengan api birunya di waktu subuh, Taman Nasional Baluran, Pantai Bangsring dengan taman lautnya, Pulau Merah, Kawasan Wisata Pantai Boom, banyak dipromosikan melalui media sosial dan media cetak. Foto-foto yang terlihat cantik di media sosial membuat banyak wisatawan tertarik mengunjungi Banyuwangi. Apalagi sejak beberapa tahun lalu sudah ada penerbangan langsung dari Jakarta menuju Banyuwangi, dengan waktu tempuh hanya sekitar 1,5 jam saja.

Akhir November 2020 lalu, saya mengunjungi Banyuwangi untuk keperluan kerja. Karena rapat kerja berlangsung di hari Senin, saya berangkat dari Jakarta hari Minggu, dengan pesawat Garuda yang jam 10.20 pagi. Sekitar jam 12 Siang, saya sudah sampai di bandara Banyuwangi, bandaranya terlihat unik dengan atap yang ditumbuhi rumput dan tanaman rambat. Setelah keluar bandara, saya diajak makan siang dengan menu khas Banyuwangi di restoran Sun Osing, tak jauh dari Bandara. Pilihan menunya Uyah asem pitik (ayam kuah asam) dengan irisan belimbing waluh dan tomat mengkal, segar dan sedap di siang hari yang cukup panas ini.

Kemudian saya diajak menuju kawasan wisata Taman Gandrung Terakota. Kawasan yang terletak di kaki gunung Ijen ini relatif baru keberadaannya, diresmikan pada bulan Oktober 2018 lalu. Taman wisata ini merupakan bagian dari Jiwa Jawa Ijen Resort. Lokasi ini juga pernah digunakan untuk pentas Jazz Gunung memanfaatkan amphiteheater yang ada di kompleks wisata ini. Daya tarik utama Taman Gandrung Terakota ini adalah seribuan patung tanah liat (terakota) seukuran manusia, yang disebar di beberapa lokasi taman wisata ini.

Seribuan patung ini merupakan simbolisasi dari tarian Gandrung Sewu, tarian khas Banyuwangi yang biasanya ditampilkan oleh seribuan penari untuk menyambut masa panen padi. Deretan patung terakota ini sekilas mengingatkan pada patung ribuan tentara terakota di Xi’an China. Di kawasan ini, lokasi patung terakota tersebar di 3 lokasi utama, sawah di belakang amphitheater, kolam dibawah amphiteater, dan plaza diantara pendopo dan sawah. Cukup unik penataan dan penempatan patung terakota ditengah alam terbuka yang sejuk ini.

Puas berkeliling dan ngopi di Taman Gandrung, saya menuju hotel Dialoog untuk check in dan istirahat sejenak, sebelum makan malam di kawasan wisata Pantai Boom. Kawasan pantai ini relatif baru dibenahi oleh pemerintah kabupaten Banyuwangi. Dulunya kawasan ini dikenal sebagai kawasan kumuh, namun dengan penataan dan perencanaan yang baik, kawasan pantai ini disulap menjadi destinasi wisata kuliner dan wisata pantai yang ramah untuk masyarakat. Mau jajanan murah meriah, ada beberapa lokasi food court dengan jajanan warung tenda. Mau makan sambil nonton live music, ada cafe-cafe berstandar internasional dengan menu yang bervariasi. Salah satunya adalah Banyuwangi International Yacht Club, cafe ini memiliki tempat parkir untuk speedboat dan yacht, tamu yang memiliki kapal pribadi bisa berkunjung ke kafe ini lewat jalur laut.

Salah satu landmark dikawasan pantai Boom adalah Jembatan Wisata Pantai Boom. Jembatan sepanjang kurang lebih 150 meter ini sepertinya terinspirasi Helix Bridge di Singapura. Pagar pengaman jembatan ini berbentuk oval, dengan bagian atas terbuka dan berkelok-kelok seperti alunan ombak.

Di siang hari, garis-garis jembatan ini membuat bayangan yang jatuh di jembatan terlihat artistik, sementara di malam hari, lampu-lampu di pagar jembatan ini bercahaya dengan indah, menjadikan jembatan yang baru rampung dibangun pada bulan September 2020 ini menjadi instagram spot paling populer di kota Banyuwangi. Dikawasan ini juga ada gedung pergudangan tua yang sudah ada sejak jaman Belanda, namun dimalam hari terlihat cantik dengan lampu yang berwarna-warni.

Selesai makan malam, saya beristirahat sejenak di hotel, karena jam 1 malam akan bersiap-siap untuk mendaki Gunung Ijen. Jam 1.15 malam, saya dijemput pemandu untuk ke Gunung Ijen. Perjalanan dari kota Banyuwangi sampai di posko pendakian memakan waktu kurang lebih 1 jam. Jam 2.15 kami sudah sampai, namun harus menunggu pintu gerbang pendakian dibuka pukul 3 pagi. Selama pandemi, pendakian ke Gunung Ijen baru dibuka jam 3 pagi, sehingga tidak memungkinkan pendaki untuk melihat Api Biru (blue flame) di kawasan Kawah Ijen. Blue flame yang hanya ada 2 di dunia ini (satunya lagi di Iceland), hanya terlihat menjelang pukul 3 pagi saat langit pada kondisi tergelap dan tidak berawan. Peraturan ini dibuat untuk mengurangi jumlah pengunjung selama pandemi.

Sekitar pukul 3 pagi, pintu gerbang pendakian dibuka. Malam itu ada sekitar 20 orang yang mendaki gunung Ijen. Dikawasan puncak Ijen ada kawah yang mengandung belerang. Belerang tersebut secara tradisional ditambang oleh penambang lokal. Setelah wisata kawah ijen booming, sebagian penambang belerang beralih profesi menjadi penyedia jasa troli.

Bagi anda yang ingin melihat kawah ijen atau blue flame, namun tidak kuat mendaki gunung, bisa menggunakan jasa troli ini. Saya memutuskan untuk mendaki dengan berjalan kaki, pengalaman naik gunung saat SMA sampai kuliah dan beberapa kali hiking dalam beberapa tahun terakhir, membuat saya cukup yakin dapat mendaki Gunung Ijen yang memiliki ketinggian 2.386 meter diatas permukaan laut ini.

Saya mulai mendaki sekitar jam 3.15 pagi. Rute pendakian sekitar 3,2 kilometer dengan sudut pendakian antara 15-45 derajat. Jalur pendakian cukup lebar, sekitar 3 meter dengan kontur tanah berpasir. Dari pintu gerbang sampai ke pos 1 relatif landai dan dapat ditempuh dengan cepat. Jarak dari pos 1 ke pos 2 sudah mulai curam. Setelah lewat pos 2 menujua pos 3 jalan makin menanjak curam. Tahapan terberat adalah antara pos 3 menuju pos 4. Disini ada beberapa pendaki yang menyerah dan akhirnya naik troli yang ditawarkan pemandu lokal. Satu troli dikendalikan oleh satu pendorong, dan ditarik oleh 2 orang dari depan. Nafas mulai tersengal-sengal dalam perjalanan antara pos 3 menuju pos 4. Etape selanjutanya dari pos 4 menuju pos 5 juga tak kalah curam, setiap 50 langkah musti istirahat sejenak mengatur nafas. Sampai di pos 5, ada warung yang menjual minuman dan indomie. Disini banyak pendaki yang beristirahat sambil memulihkan tenaga.

Dari pos 5 sampai ke kawasan tepi kawah, jaraknya sekitar 600 meter, dengan lintasan yang relatif landai. Saya tiba di tepian kawah sekitar pukul 5.15 pagi, sekitar 2 jam dari titik awal pendakian. Di bagian timur Jawa, matahari terbit sekitar pukul 5 pagi, sehingga jam 5.15 sudah terang, namun kawah ijen masih tertutup kabut. Terlihat cukup banyak penambang belerang hilir mudik mengangkut belerang dari kawah.

Dari kawasan tepi kawah, pemandu mengajak saya naik lagi ke kawasan vegetasi, menurut pemandu, di atas sana banyak spot-spot menarik untuk berfoto. Setelah mendaki sekitar 15 menit keatas, saya ditunjukkan satu titik di tepi jurang, jika kita berdiri disitu, keseluruhan kawah akan terlihat dalam frame foto. Jujur aja, untuk turun ke titik di tepi tebing ini cukup bikin deg-degan. Salah melangkah, bisa terperosok jatuh ke jurang arah kawah. Satu spot instagram di kawasan ini adalah pohon mati di tepi jurang. Sepertinya pohon ini mati karena tersambar petir. Kayunya yang hitam legam dengan cabang-cabangnya yang berkelok menjadikan pohon mati ini sebagai spot foto wajib di puncak ijen.

Saya turun kembali sekitar pukul 7 pagi dari kawasan puncak ijen. Jika saat naik perlu waktu 2 jam, saat turun menuju pos awal pendakian dapat ditempuh dalam waktu 1 jam saja. Harus berhati-hati karena tanah berpasir ini cukup licin saat turun. Saya beberapa kali terpeleset saat turun karena pijakan yang tidak mantap. Sampai di posko awal pendakian sekitar jam 8 pagi, setelah beristirahat sejenak, kita kembali ke hotel Dialoog di kota Banyuwangi.

Hotel ini sangat cantik. Persis di pantai Banyuwangi, dari balkon kamar hotel kita dapat melihat pulau Bali dengan jelas di sebrang sana. Sore hari setelah urusan kerjaan selesai, saya berjalan-jalan di kawasan pantai villa So Long, yang lokasinya bersebelahan dengan hotel Dialoog. Pantai di kota Banyuwangi umumnya berpasir warna hitam. Di kawasan pantai ini tidak dianjurkan berenang, karena arus selat Bali cukup kuat. Lebih cocok untuk jalan-jalan santai di sore hari sambi menikmati kopi atau kudapan sore.

Sayangnya kunjungan saya di Banyuwangi cukup singkat, tidak cukup waktu untuk melihat seluruh potensi wisata yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Rasanya saya harus kembali ke Banyuwangi untuk melihat Taman Nasional Baluran, Pulau Merah, Pantai Bangsring, Air terjun Coklak, Pertemon dan Bayu Lor dan perkebunan Glenmore. I shall return..!

Tinggalkan komentar