Matinya Pariwisata?

Pada tanggal 10 September 2020 lalu, CEO Singapore Airlines (SQ) membuat pernyataan kepada seluruh karyawan SQ dalam virtual townhall meeting, bahwa SQ terpaksa melakukan PHK kepada 4.300 karyawan. Saat ini SQ hanya mengoperasikan 8% armadanya karena berbagai pembatasan perjalanan antar negara akibat pandemi covid-19. Antara bulan Maret sampai Juni 2020 SQ mencatat kerugian sebesar 1,12 milyar dollar. Kerugian kuartalan terbesar sepanjang sejarah SQ. Pemulihan industri penerbangan diperkirakan baru akan terjadi pada tahun 2024.

Kerugian dan kesulitan yang dialami SQ diperparah kenyataan bahwa SQ tidak memiliki jalur domestik, semua penerbangan SQ adalah penerbangan internasional. Dengan ditutupnya perbatasan berbagai negara dunia, banyak pesawat SQ yang tidak dapat terbang. Airlines di negara lain mungkin sedikit tertolong karena penerbangan domestik masih bisa beroperasi. Dengan kerugian sebesar itu, kelangsungan bisnis SQ mulai dipertanyakan, seberapa lama SQ kuat bertahan dengan kondisi pandemi yang masih tidak menentu ini?

Sekitar dua minggu sebelumnya di akhir Agustus 2020, media terbesar di Jepang, Nikkei, mempublikasikan laporan khusus berjudul “The End of Tourism”. Artikel ini menggambarkan prediksi yang suram tentang pariwisata di Asia, khususnya Thailand, Kamboja dan Indonesia. Kekhawatiran turis akan penyebaran virus membuat industri pariwisata di kawasan Asia bagaikan mati suri. Banyak pemilik hotel, restoran dan jasa wisata mengurangi pekerja, dan yang tidak cukup modal terpaksa menutup usahanya akibat pandemi ini. Tidak ada turis yang datang dan tidak jelasnya kapan pandemi akan berakhir membuat industri wisata semakin tenggelam.

Tulisan ini memprediksi, industri pariwisata tidak akan sama lagi. Minat orang untuk berwisata akan semakin berkurang. Ketakutan dan kekhawatiran untuk bepergian dapat memberikan efek psikologis jangka panjang yang membuat orang enggan berwisata. Jika kondisi berlangsung lama, bukan tidak mungkin makin banyak pengusaha pariwisata yang berguguran. Negara-negara yang kontribusi penerimaannya banyak tergantung dari pariwisata, seperti Macau, Thailand, Kamboja, akan terimbas paling besar. Bagaimana dengan Indonesia..?

Sampai Oktober 2020 ini, pemerintah Indonesia masih menutup rapat pintu wisata bagi wisatawan internasional. Warga negara asing yang bisa masuk ke Indonesia hanya mereka yang memiliki izin khusus terkait aktivitas kenegaraan, bisnis dan sosial. Jumlah kunjungan warga asing ke Indonesia sejak PSBB diberlakukan di bulan April lalu menurun drastis, dengan tingkat penurunan lebih dari 99%. Pada Maret 2020 sebelum PSBB diberlakukan, imigrasi Indonesia mencatat kunjungan 254.899 WNA yang masuk dengan fasilitas bebas visa kunjungan, namun pada Juni lalu hanya ada 847 WNA yang masuk Indonesia melalu fasilitas bebas visa.

Sementara di bulan Agustus 2020 lalu, jumlah kunjungan WNA yang masuk wilayah Indonesia tercatat sekitar 165 ribu orang. Meski terlihat meningkat signifikan dibanding bulan Juni 2020, angka kunjungan WNA di Agustus 2020 ini hanya sekitar 15% dari angka kunjungan WNA di bulan Agustus 2019. Dan jika di telaah lebih dalam datanya, 54,2% dari angka ini adalah kunjungan WN Timor Leste lewat perbatasan darat Timor Leste-Nusa Tenggara Timur, dan 35,3% adalah kunjungan WN Malaysia yang masuk melalui perbatasan darat Serawak-Kalimantan Barat. Kunjungan WNA melalui jalur udara tercatat hanya 5.600 orang saja di bulan Agustus lalu.

Namun demikian, kondisi industri wisata Indonesia sedikit lebih baik dibandingkan beberapa negara lainnya, karena wisatawan domestik masih ada dan moda transportasi domestik masih beroperasi, meskipun dengan berbagai pembatasan. Data BPS menunjukkan, pada bulan Juni 2020 tingkat hunian hotel rata-rata di Indonesia sekitar 19,7% menurun dibandingkan bulan Juni 2019 yang tercatat rata-rata 52,3%, sementara negara tetangga Malaysia, pada bulan yang sama tingkat hunian hotelnya hanya 16% di Juni 2020 vs 64% di Juni 2019.

Prediksi kelam industri wisata yang mungkin baru pulih di 2024 akan membuat pelaku industri berjibaku menata ulang bisnisnya. Hanya yang kuat dan kreatif yang mampu bertahan ditengah anjloknya wisata global selama beberapa tahun kedepan. Beberapa hotel telah mengubah hotelnya menjadi lokasi karantina mandiri agar operasional dapat terus berjalan. Beberapa pengusaha transportasi melakukan adaptasi dengan menjadikan armadanya sebagai transportasi kargo. Bahkan Air Asia kini merambah bisnis kambing Aqiqah. Tidak ada batasan untuk mempertahankan kelangsungan usaha pariwisata. Diversifikasi usaha, penghematan, jeli melihat peluang, akan menjadi kunci bagi pelaku industri wisata untuk bertahan hidup selama beberapa tahun kedepan.

3 Comments Add yours

  1. Avant Garde berkata:

    2020 bagaikan tahun yg buruk buat dunia wisata, dan maklum kalau maskapai sekelas air asia jualan kambing mas, biar bisa bertahan…

    semoga pandemi cepat selesai, amien

    Suka

    1. Betul.. anything to survive.. tidak perlu gengsi..

      Disukai oleh 1 orang

      1. Avant Garde berkata:

        Betul mas ….

        Suka

Tinggalkan komentar