Masjidil Aqso merupakan tempat suci bagi tiga agama samawi. Umat Islam menyebutnya sebagai Masjidil Aqso (masjid yang jauh)/Baitul Maqdis, penganut Judaisme menyebutnya sebagai Hair Habayit/ Bait Suci sedang para penganut agama Nasrani menyebutnya sebagai Bait Allah. Bagi umat Yahudi, inilah tempat yang tersuci sedangkan bagi umat Islam ini adalah satu dari tiga masjid suci dan merupakan kiblat pertama.

Masjidil Aqso adalah kompleks yang didalamnya tidak hanya terdiri dari Jami’ Al Aqso atau masjid Al Qibli yang berkubah warna hitam, tetapi juga diseberangnya berdiri masjid Dome of the Rock berkubah warna emas bersegi delapan keduanya dapat dilihat dari kejauhan di bukit Zaitun yang berada di wilayah Negara Israel. Masuk ke dalam komplek Masjidil Aqsa berjalan kearah barat berdiri tembok ratapan yang terkenal itu tempat ibadah umat Yahudi, demikian sekilas info suasana Masjidil Aqso yang saya ziarahi tepat di hari Raya Idul Adha bulan September 2017 lalu.

Selepas menziarahi Masjidil Aqso timbul rasa keinginan menapaki jejak Judaisme di Indonesia. Informasi Wikipedia menyebutkan bahwa, secara historis, penganut Judaisme di Indonesia tersebar di berbagai daerah dan Surabaya menjadi tempat bermukim penganut Judaisme yang terbanyak.

Rasa ingin tahu itu baru terlaksana dengan melakukan perjalanan ke Surabaya di akhir tahun 2019, pertama saya mengunjungi eks rumah ibadah Sinagog, yang dulunya berada di jalan Kayon nomor 4-6 merupakan satu dari dua Sinagog di Indonesia, lainnya berada di Menado Sulawesi Utara. Kini Sinagog Surabaya telah rata dengan tanah dan di atas areal seluas 2.000 meterpersegi itu berdiri Grand Dafam Hotel.

Bangunan Sinagog di jalan Kayon itu sebenarnya menjadi saksi sejarah tentang keberadaan Judaisme di Indonesia. Saat masih berdiri tidak banyak orang yang mengetahui bahwa bangunan berarsitek Eropa itu adalah tempat ibadah penganut Judaisme, bangunan tersebut tampak seperti rumah biasa. Satu hal yang membedakan adalah terdapatnya logo Bintang Daud dan tulisan Ibrani di pintu masuk. Bagunan itu awalnya rumah yang ditinggali oleh seorang dokter keturunan Belanda yang kemudian diubah fungsikan menjadi Sinagog.

Tidak jauh dari Sinagog di jalan Tunjungan 80, ada peninggalan bangunan lain “Loge de Vriendschap” sekarang bangunan digunakan sebagai kantor Badan Pertanahan Nasional Kotamadya Surabaya. Pada masanya gedung kerap digunakan sebagai tempat pertemuan orang Belanda dan para Pribumi yang mempunyai kedudukan tinggi waktu itu termasuk orang penganut Judaisme.

Jejak Judaisme di Surabaya yang terahir yang dapat saya telusuri ialah pemakaman di area pemakaman Kembang Kuning. Tepatnya di blok G, di areal tanah seluas +/- 2.000 meterpersegi. Nasib pemakaman ini berbeda dengan Sinagog, bila Sinagog kini tinggal kenangan sementara pemakaman penganut Judaisme ini masih terawat dengan baik.

Terletak di sebelah Utara Krematorium Kembang Kuning sejumlah kuburan berada di pojok makam Kristen Kembang Kuning, bangunan pemandian jenazah masih berdiri kokoh dengan ornamen bintang Daud menempel di atas pintu masuk. Disamping kanan ruang pemandian terdapat pemakaman penganut Judaisme. Dari luar pagar tembok keliling makam dapat terbaca nama nama berlafal Hebrew, ditiap nisan terdapat lambang Bintang Daud serta tulisan Ibrani. Diantaranya yang jelas terbaca bernama Charles Mussry seorang saudagar ternama dan kaya di akhir era Kolonial Hindia Belanda, meninggal di tahun 1971.

Naskah dan foto oleh Lutfi Sriyono (l.sriyono@gmail.com)
Mas Bro, loji itu kalau tak salah sebagai jejak freemason di Indonesia juga ketika zaman Belanda. Mantap tulisannnya
SukaSuka
Hi bro Boykolot..
Thanks info tambahannya.. 😊👍
SukaSuka