Tertipu Mozambique


Marloth Park tempat kami menginap di Afrika Selatan hanya berjarak sekitar 20 km dari perbatasan Mozambique. Karena Mozambique memberikan Visa on Arrival untuk pemegang paspor Indonesia, kami jadi tertarik untuk melihat seperti apa negara Mozambique ini, yang ditahun 90an masih dilanda perang saudara.

Perjalananan dari Marloth Park menuju Lebombo, perbatasan di sisi Afrika Selatan, ditempuh dalm waktu 15 menit. Mobil sewaan saya tidak memiliki izini untuk dibawa keluar Afrika Selatan, karenanya saya memarkirkan mobil sewaan di rest area Oasis, yang berjarak sekitar 1,5 km dari perbatasan. Kami sarapan pagi dulu di KFC sana, kemudian naik taksi ke perbatasan.

Proses imigrasi keluar Afrika Selatan berlangsung lancar. Gedung imigrasi Lebombo milik Afrika Selatan ini terlihat rapi, bersih dan modern. Keluar dari imigrasi Afrika Selatan, kami mengikuti jalur pejalan kaki melintasi jembatan. Jalur pedestrian berpagar ini panjangnya sekitar 300 meter. Diujung jalur pedestrian ada 2 tentara Mozambique yang berjaga, mereka kadang menghentikan pelintas batas di depan kami, di cek paspornya, tapi ada juga yang diloloskan begitu saja, termasuk kami berempat.

Secara wilayah, kami saat itu sudah berada di wilayah Mozambique. Sebagian pelintas batas langsung jalan meninggalkan perbatasan. Namun kami belum melewati imigrasi Mozambique. Meskipun saat itu bisa saja kami ikut warga lokal keluar area perbatasan, tapi nanti pas mau meninggalkan Mozambique pasti akan jadi masalah karena tidak punya visa atau izin masuk.

Akhirnya kami bertanya pada tentara yang berjaga diujung jalur pedestrian tadi, dimana kantor imigrasinya. Kami diarahkan ke sebuah gedung di tengah jalur pelintas batas mobil. Dalam hati saya berpikir, longgar banget pengawasan pelintas batas di Mozambique ini.



Berbeda dengan gedung imigrasi Afrika Selatan yang besar, bersih dan modern, kantor imigrasi Mozambique ini kecil, bangunan tua tanpa AC, dan terkesan kotor dan suram. Papan-papan petunjuk di kantor imigrasi ini berbahasa Portugis, bahasa nasional yang digunakan di Mozambique. Di dalam kantor imigrasi tidak terlihat formulir imigrasi yang umumnya ada di imigrasi suatu negara. Saya harus bertanya dulu ke seorang petugas untuk formulir ini, baru dia mengambil forrmulir dari laci di mejanya.

Setelah mengisi formulir, kami kembali ke meja petugas tadi, lalu ditanya-tanya ke Mozambique mau apa dan berapa lama. Saat saya jawab hanya mau lihat-lihat kota perbatasan dan tidak menginap, petugas terlihat bingung, lalu dia memanggil atasannya. Sepertinya untuk masuk Mozambique, pengunjung harusnya punya bukti akomodasi dan transportasi. Saya jelaskan bahwa malam nanti kami menginap di Afrika Selatan dan mobil sewaan kami tidak bisa dibawa masuk Mozambique.



Setelah petugas berdiskusi dengan atasannya, saya dinasihati jangan hanya berkunjung di kota perbatasan Ressano Garcia, tapi harus berkunjung ke ibukota Maputo, yang jaraknya sekitar 80km dari perbatasan. Saya juga di beri informasi harus naik apa ke Maputo dan berapa tarif transportasi umum. Saya bilang ke petugas, OK, kita akan ke Maputo. Kemudian kami difoto untuk pembuatan Visa on Arrival dengan biaya visa USD 50 per orang.

Selesai proses imigrasi yang agak membingungkan ini, kami keluar area imigrasi, dan langsung dikerubungi pedagang penukar uang dan kartu SIM card telepon. Penukar uang ini menawarkan nilai tukar 4.4 Meticai untuk 1 Rand, padahal kalau di sisi Afrika Selatan,.nilai tukarnya 4.2. Kami memang perlu uang Meticai untuk naik angkot ke Maputo. Awalnya saya menukar uang 200 Rand, yang cukup untuk sekali jalan ke Maputo, tapi pedagang tukar uang tersebut bilang, kenapa nggak 400 Rand, anda perlu uang lokal. Saya pikir benar juga, saya berikan 400 Rand kepada pemuda tersebut.



Seharusnya saya mendapat 1.760 Meticai, tapi saat saya hitung uang yang saya terima, hanya 1.660 Meticai. Saya komplen, dia memgambil kembali uang tersebut dan menghitung dengan suara keras di depan kami berempat, setelah hitungan 13, dia lompat ke 15,16, 17, saya protes, 13, 14, 15 sergah saya. Kemudian dia hitung ulang lagi dengan suara keras sampai 16, mengakui kurang selembar, lalu dia minta ke temannya selembar uang 100 Meticai, setumpuk uang tersebut kemudian diserahkan kembali ke saya.



Merasa puas dapat mengetahui kecurangan si pedagang, saya memasukkan uang Meticai ke dalam dompet. Kami lalu berjalan kaki ke pangkalan angkot menuju Maputo. Angkot yang digunakan disini seukuran Colt L300, diisi 18 penumpang plus supir. Menjelang angkot berangkat, kami diminta ongkos 600 Meticai untuk berempat (sekitar Rp 130.000). Setelah saya bayar ongkos 600 Meticai, ternyata di dompet saya hanya tersisa uang 360 Meticai, barulah saya sadar bahwa saya kena tipu pedagang tukar uang tadi. Entah bagaimana caranya, setelah dia memghitung ulang dan memberikan uang ke saya sebenaranya saat itu dia telah menilep 8 lembar uang 100 Meticai. Hehehe, pengalaman baru, ditipu pedagang tukar uang. Nilai kerugian tidak seberapa sih, sekitar Rp 180.000.

Perjalanan dari Ressano Garcia le Maputo ditempuh selama sekitar 1,5 jam, termasuk beberapa kali berhenti untuk menurunkan penumpang. Jalan dari Ressano Garcia sampai Maputo melalui jalan toll yang mulus. Sampai di terminal bus Maputo, kami dihampiri beberapa supir taksi, yang menawarkan transportasi di Maputo. Karena kami tidak punya banyak waktu, kami memutuskan sewa taksi untuk keliling Maputo, sekaligus mengantarkan kami kembali ke Ressano Garcia.

Supir taksi yang membawa kami bernama Vito, mobilnya Corolla tahun 90an akhir. Vito cukup fasih berbahasa Inggris, sambil jalan di pusat kota Maputo, dia menjelaskan gedung dan tempat yang kami lewati. Sepertinya dia sudah biasa membawa wisatawan asing. Kami lalu di bawa ke Maputo – Katembe ‘Golden Gate Bridge’, jembatan di Maputo yang strukturnya serupa dengan Golden Gate Bridge di San Fransisco, Amerika. Jembatan yang baru dibuka November 2018 ini merupakan suspension bridge terpanjang di benua Afrika, dengan total panjang 3.041 meter.



Kami kemudian diajak ke kawasan pantai Praia Do Mira Mar. Sepanjang pantai ini banyak condo dan hotel modern dan mewah, di kawasan ini juga terdapat kedutaan Amerika Serikat. Vito menjelaskan bangunan-bangunan tersebut umumnya masih baru, dibangun investor dari Afrika Selatan dan China



Setelah sekitar 3 jam berkeliling Maputo, kami kembali ke Ressano Garcia sekitar jam 16.30. Perjalanan kembali dari Maputo ke Ressano Garcia ditempuh sekitar 1 jam 15 menit. Sampai di perbatasan, Vito meminta saya menyimpan nomer HP nya, pesan dia kalau ke Maputo lagi, silakan telepon saya untuk transportasi.



Sore itu, antrian di imigrasi Ressano Garcia cukup panjang. Kami berempat diproses di counter imigrasi yang berbeda. Lucunya, petugas imigrasi yang memeriksa paspor anak saya marah-marah, dia bilang, kenapa di Mozambique hanya beberapa jam saja, kamu turis yang masuk Mozambique hanya untuk koleksi visa ya di paspor ya..? Hehehe.. tau aja si bapak.. 😂

Lewat dari imigrasi Mozambique, kami masuk ke imigrasi Afrika Selatan, dan paspor kami di cap tanpa ada pertanyaan. Dari perbatasan Lebombo kami naik angkot ke rest area Oasis, belanja perbekalan di supermarket, jam 7 malam melanjutkan perjalanan ke Johannesburg.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s