Barelang Nan Lengang

Pertengahan Februari 2017 saya berkesempatan berkunjung kembali ke pulau Batam, setelah kunjungan terakhir sekitar 10 tahun lalu. Pulau Batam sejatinya adalah pulau yang disiapkan untuk menjadi kawasan industri dan perdagangan berikat (bonded zone), terutama untuk menangkap limpahan industri dari Singapura, sekaligus menjadi salah satu alternatif lokasi investasi bagi pengusaha nasional dengan berbagai insentif yang ditawarkan.

Karena pulau ini disiapkan sebagai kawasan industri, relatif tidak banyak tempat wisata yang ada di pulau ini. Jika kita bertanya kepada penduduk Batam, obyek wisata apa yang menarik untuk dilihat, kebanyakan mereka menyarankan beberapa tempat makan dan belanja atau beberapa kawasan pantai seperti Nongsa. Namun jika cakupan wisatanya di perluas ke pulau-pulau sekitar pulau Batam, ternyata cukup banyak obyek wisata yang menarik di sekitar pulau Batam ini. Dalam kunjungan2 sebelumnya, saya sudah pernah ke Nongsa, kawasan belanja di Nagoya dan Batam Center. Kali ini saya memilih untuk berkunjung ke beberapa pulau yang ada di sekitar pulau Batam.

Sejak tahun 1998, Batam dan pulau-pulau sekitarnya terhubung oleh jembatan Barelang, terdiri dari 6 jembatan yang menghubungkan pulau Batam, pulau Tonton, pulau Nipah, pulau Setokok, pulau Rempang, pulau Galang dan pulau Galang baru. Jembatan pertama adalah jembatan yang paling besar dan ikonik dengan bentangan struktur baja. Bisa dibilang jembatan pertama ini merupakan ikon pulau Batam yang paling terkenal. Jembatan sepanjang 385 meter ini dinamakan Jembatan Tengku Fi Sabilillah. Jembatan ini berlokasi sekitar 20 kilometer dari pusat kota Batam, untuk menuju kesini dengan mobil dapat di tempuh dalam waktu sekitar 20 menit. Sebelum mencapai jembatan, ada lokasi wisata untuk melihat pemandangan jembatan ini, masuk lokasi ini tidak dipungut biaya.

Setelah mengambil foto, saya melanjutkan perjalanan ke pulau Galang, untuk melihat kampung Vietnam. Perjalanan dari jembatan Tengku Fi Sabilillah menuju kampung  Vietnam di tempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Perjalanan menuju kampung Vietnam di pulau Galang ini terasa lengang, tidak banyak kendaraan yang melintas.  Memasuki kawasan wisata kampung Vietnam ini pengunjung membayar Rp 5.000 per orang dan mobil Rp. 20.000. Sedikit riwayat Kampung Vietnam ini, saat konflik Vietnam-Kamboja tahun 70-80an, banyak warga Vietnam dan Kamboja yang meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi. Salah satu lokasi pengungsian yang di pilih oleh UNHCR dan pemerintah Indonesia adalah pulau Galang, yang saat itu merupakan pulau yang cukup terisolir.

Obyek yang pertama kita temui di kampung ini adalah Vihara Quan Am Tu. Vihara ini cukup besar, dan sampai sekarang masih digunakan oleh umat Buddha baik dari sekitar kepulauan Riau, maupun dari negara tetangga. Di Pintu gerbang Vihara ini tertulis ‘Memperingati Tahun 1979 PBB Membantu Pengungsi Vietnam Peninggalan Sejarah’. Dari informasi teman, Quan Am Tu adalah  nama Vietnam untuk Dewi Kwan Im. Memang di depan Vihara ini terdapat patung Dewi Kwan Im yang cukup besar.

Dari Vihara, saya melanjutkan perjalanan memasuki kampung Vietnam, melewati bekas rumah sakit PMI, monumen Humanity Statue dan kompleks pemakaman Nghia Trang Grave. Ada ratusan makam pengungsi Vietnam yang meninggal dalam masa pengungsian. Blok sebelah kiri untuk pemakaman Kristen, dan blok sebelah kanan untuk pemakaman Buddha. Menurut informasi, lokasi makam ini pernah digunakan untuk salah satu acara uji nyali di televisi swasta.

Dari kompleks makam, saya melanjutkan ke lokasi monumen kapal pengungsi. Di sini tadinya ada 3 kapal pengungsi yang dijadikan monumen, 1 kapal cukup besar dan 2 kapal yang lebih kecil. Namun salah satu kapal yang kecil sudah hancur karena lapuk termakan usia. Hanya tersisa 2 kapal yang menjadi saksi bisu perjuangan warga Vietnam mengungi ke pulau Galang. Dulunya ada ribuan kapal kayu yang digunakan pengungsi Vietnam menuju pulau Galang, namun untuk mencegah pengungsi pergi ke wilayah lain, kapal-kapal itu kemudian disita, sebagian dibakar. Pada puncaknya, pulau Galang pernah dihuni sekitar 200 ribu pengungsi.

Tidak jauh dari monumen kapal, ada museum yang menempati gedung eks Komando Pengamanan Pulau Galang. Di depan musium ini terdapat bangunan penjara, yang dulunya digunakan oleh aparat untuk menahan pengungsi yang melakukan pelanggaran hukum. Museum ini memuat banyak foto pulau Galang saat dipenuhi pengungsi, kegiatan warga bersama TNI-Polri, kegiatan lembaga UNHCR dan PMI, serta benda-benda yang di tinggalkan pengungsi, termasuk banyak kartu identitas pengungsi. Menurut informasi di musium ini, pengungsi terakhir meninggalkan pulau Galang pada tahun 1992, dan saat itu dilepas oleh kepala Otorita Batam, BJ Habibie bersama UNHCR, PMI, TNI dan Polri.

Mengharukan melihat sejarah pengungsi Vietnam di Pulau Galang ini. Sejak mereka meninggalkan Pulau Galang, telah beberapa kali di adakan reuni alumni kamp pengungsi pulau Galang. Bagi sebagian eks pengungsi, pulau Galang adalah rumah kedua mereka.

Dari museum, saya melanjutkan perjalanan ke Gereja Nha Tho Buc Me Vo Nhiem  dan Vihara Sakyamun Sinam Galang Ky Ventu yang letaknya bersebelahan. di belakang vihara ini ada patung reclining buddha.

Kunjungan saya di kampung Vietnam berakhir sekitar pukul 4 sore. Saya kemudian kembali ke arah Batam, namun di tengah perjalanan, tepatnya di pulau Rempang, saya menyempatkan berwisata di pantai Melayu. Pantai ini adalah salah satu lokasi wisata favorit di Barelang. Ombaknya tenang, pantainya cukup landai untuk anak-anak bermain air dan berenang. Di akhir pekan juga tersedia fasilitas rekreasi seperti banana boat, dan jet ski. Sore hari duduk-duduk di pantai sambil minum es kelapa muda segar juga rasanya.

Menjelang petang, saya kembali ke pulau Batam, atas rekomendasi sahabat saya Sanz, saya menuju ke restoran seafood yang  terletak di Harbour Front, menurut informasi, dari pantai ini kita bisa melihat pemandangan Singapura dari kejauhan. Namun sayang sore itu cuacanya berkabut, tidak terlihat pemandangan Singaura yang dijanjikan 😀 Untungnya makanan di resto Wey Wey ini lezat, otak-otak, udang gandum dan ayam telur asin nya pas untuk mengganjal perut yang mulai lapar di sore hari.

Dari kawasan Harbour Front, saya diajak teman saya untuk melihat Vihara Tua Pek Kong, yang merupakan vihara Kong Hu Chu terbesar di Batam. Suasana vihara malam itu meriah, karena ada beberapa keluarga yang melakukan jamuan di dalam vihara. Suasana imlek yang berlangsung beberapa minggu sebelumnya juga masih terasa, dengan banyaknya lilin berukuran raksasa yang di nyalakan di halaman vihara.

wp-image-77073152jpg.jpg

Seharian berkeliling Barelang cukup menguras energi, sehingga malam hari menjelang kembali ke hotel, kita menyempatkan diri cari jajanan lagi, kali ini ke kawasan foodcourt A2, food court alfresco dining ini cukup luas, dengan puluhan pedagang makanan di dalamnya. Teman saya memesankan gonggong, kerang laut yang untuk mengambil isinya harus dicungkil dengan tusuk gigi, dan ayam goreng bawang yang enak banget. Perut kenyang, mata ngantuk, sayapun kembali ke hotel, untuk beristirahat. Besok pagi sekali saya harus kembali ke Jakarta dengan penerbangan pertama.

Tinggalkan komentar