Setelah si sulung Vira kembali ke Jakarta karena harus ujian kuliah, kami bertiga melanjutkan petualangan kami di Nepal. Saat bergabung dengan saya dan Vira pada tanggal 30 Desember malam. istri saya dan si bungsu Rizki belum sempat menjelajah Kathmandu dan sekitarnya, karena pada 31 Desember pagi kita sudah berangkat ke Pokhara. Biar adil, saya mengajak mereka berkunjung ke tempat-tempat wisata yang telah saya datangi bersama si sulung sebelumnya.
Tanggal 2 Januari, saya mengajak istri dan Rizki untuk city tour di Kathmandu. Tujuan wisatanya sama persis dengan yang telah saya datangi bersama Vira, yaitu Swayambhu temple, Patan Durbar Square, Pashupatinath temple dan Boudanath temple. Namun agar tidak bosan, dalam kunjungan kali ini kami mengambil tema yang berbeda. Jika pada kunjungan pertama bersama si sulung saya mengambil tema tempat-tempat yang berhubungan dengan komik Tintin di Tibet, pada kunjungan ini saya dan si bungsu mencari lokasi-lokasi yang di gunakan sebagai lokasi shooting film superhero Marvel, Dr. Strange. Saya sendiri belum nonton film Dr. Strange ini, tapi Rizki sudah nonton, dan dia sangat bersemangat mencari lokasi-lokasi yang digunakan di film Dr. Strange. Dari hasil googling, ternyata tempat-tempat wisata utama di Kathmandu yang akan kita datangi hampir semuanya digunakan sebagai lokasi shooting, terutama Patan Durbar Square dan Pashupatinath temple.
Tujuan pertama kami Swayambunath temple. Sebetulnya lokasi ini juga di gunakan dalam salah satu scenes di film dr. Strange, tapi karena kami asik berfoto-foto dan membeli souvenir saat disana, kami lupa untuk mencari lokasi yang digunakan di film Dr. Strange, jadi meskipun kami sudah berada disana, sama sekali tidak ingat untuk bergaya seperti scene di film. Disini kami foto-foto ala turis biasa saja. 🙂
Tujuan kedua kami siang itu ke Patan Durbar Square. Sampai disana sudah jam 12.30 siang, kami makan siang dulu di tempat yang sama yang saya kunjungi bersama Vira beberapa hari sebelumnya, menu nya pun sama. Setelah makan siang, kami memasuki kawasan Patan Durbar Square, dengan membeli tiket masuk NR 1.ooo per orang. Di belakang loket penjualan tiket masuk ini terdapat sebuah kuil kecil. Kuil ini digunakan sebagai salah satu scene di film Dr. Strange. Rizki meminta saya membuat foto dengan gaya yang di mirip-miripkan dengan adegan di film, setelah itu saya juga mebuat foto yang serupa. Dari kuil kecil ini kami lanjut ke museum Patan, untuk mengambil foto di jendela museum, yang juga merupakan salah satu adegan di film.
Setelah berkeliling di kawasan Patan Durbar, kami melanjutkan perjalanan ke Pashupatinath temple. Saat kami sampai disana, di kuil utama di Kathmandu ini sedang berlangsung banyak kremasi warga yang meninggal dunia. Jika dalam kunjungan sebelumnya saya hanya melihat 3 prosesi kremasi yang sedang berlangsung, siang itu ada 6 kremasi yang sedang berlangsung. Setelah menyaksikan proses kremasi, kami melanjutkan eksplorasi di kuil Pashupatinath ini, dan tak lupa mencoba membuat foto mengikuti adegan film Dr, Strange di lokasi ini.
Dari Pasupathinath temple, kami melanjutkan perjalanan ke Boudhanath temple. Sore itu, warga yang beribadah di Boudhanath temple tidak sebanyak yang saya lihat beberapa hari sebelumnya, terasa jauh lebih sepi. Kami berkeliling dan berfoto di kawasan Boudhanath ini dan sekitar jam 6.30 kembali ke arah hotel, namun karena sudah terasa lapar, kami minta di drop di resto Pizza Hut di kawasan Durbar Marg, yang merupakan kawasan belanja high street nya Kathmandu. Sama seperti pengalaman kami sebelumnya saat ke KFC Kathmandu, Pizza Hut disini termasuk restoran mahal, makan bertiga disini dengan menu 1 large pizza, 1 porsi chicken wings dan garlic bread, habisnya sekitar NR 2.800 atau Rp 350ribu, jauh lebih mahal dari di Jakarta.
Kami kembali ke hotel di kawasan Thamel, istri saya berbelanja beberapa souvenir Nepal. Disini paling banyak dijual Pashmina dan kain-kain sulaman atau bordiran khas Nepal. Harganya berkisar mulai NR. 300 sampai NR 30.000 (Rp 37ribu sampai Rp 3,7 juta), tergantung bahan, buatan tangan atau mesin, kepadatan sulaman atau bordiran, dan jenis benang yang dipakai. Selain Pashmina, disini juga banyak dijual shawl dan selimut dari bahan bulu Yak (Yak Wool), harganya berkisar mulai NR 500 sampai NR 5.000 tergantung ukuran dan motif.
Selasa 3 Januari, kami melakukan perjalanan ke Bhaktapur. Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari hotel, kami sampai di kawasan Bhaktapur. Tapi supir mobil sewaan menurunkan kami di tempat yang berbeda dengan saat saya kesini beberapa hari lalu bersama Vira. Saat saya kesini bersama Vira, saya melewati pintu loket masuk kawasan Bhaktapur, dengan membayar HTM sebesar NR 1.500 per orang. Lokasi dimana kami diturunkan kali ini tidak ada loket karcisnya, kami berjalan melalui tanjakan, dan di ujung tanjakan ternyata adalah bagian belakang dari Bhaktapur Durbar. Rupanya ini adalah akses masuk Bhaktapur Durbar bagi warga lokal, jadilah kami masuk kawasan Bhaktapur Durbar tanpa membayar tiket masuk.. hehehe.. supirnya mungkin lupa kalau kami turis asing, yang seharusnya membayar HTM di pintu depan.
Saat kami berjalan-jalan di Bhaktapur Durbar, kami dihampiri seorang pemandu wisata yang ternyata bisa berbahasa Melayu, semula kami tidak berniat memakai pemandu wisata, tapi karena dia menyapa dengan bahasa Melayu, kami setuju menggunakan jasa dia mengantar kami berkeliling Bakthapur. Rupanya pemandu ini pernah bekerja beberapa tahun di Malaysia, dan dia juga pernah ke Bali. Kami dijelaskan bahwa Bhaktapur adalah ibukota lama Nepal sebelum pindah ke Kathmandu, dan dia banyak membawa kami ke sudut-sudut kota yang tidak saya eksplorasi saat kesini sebelumnya. Sekitar satu setengah jam kami berkeliling Bhaktapur bersama pemandu, dan di akhiri dengan makan siang di salah satu international restaurant di kawasan Bhaktapur.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Nagarkot, kawasan perbukitan sekitar 7 km dari Bhaktapur. Sebelumnya saya sudah ke Nagarkot saat hiking bersama Vira. Namun ternyata lokasi yang kami datangi ini berbeda jalan nya dan tempat wisatanya, kami di turunkan di kawasan Nagarkot Tower, sebuah tempat wisata di puncak bukit, dan disana ada menara pandang untuk melihat pemandangan. Saat kami disana, cuaca lumayan cerah, sehingga dapat melihat sebagian punggung pegunungan Himalaya yang di selimuti salju, namun deretan puncaknya tidak terlihat karena tertutup awan. Lumayanlah, mengingat sebelumnya saya sama sekali tidak bisa melihat Himalaya dari Nagarkot.
Hari terakhir kami di Nepal, Rabu 4 Januari. Setelah sarapan saya membayar penginapan 3 malam di Hotel Buddha, USD 120 untuk 3 malam di suite room untuk 3 orang, setelah checkout, kami menitipkan koper di hotel karena penerbangan kami masih di malam hari. Masih ada waktu hampir sehari penuh untuk berkeliling Kathmandu. Tujuan siang ini ke tempat yang belum saya datangi, Kathmandu Durbar. Jaraknya sebetulnya hanya sekitar 1,5 km dari hotel, tapi karena malas jalan kaki, kami memilih naik taksi dengan tarif NR 400.
Sampai di Kathmandu Durbar, kami membeli tiket masuk seharga NR 1.000 per orang, dan menjelajahi Kathandu Durbar ini. Kawasan ini tidak sebesar Patan Durbar ataupun Bhaktapur Durbar, tapi di kawasan ini terletak Kumari Ghar, yaitu istana tinggal Kumari, gadis yang diangkat sebagai dewi oleh masyarakat Nepal. Kumari tinggal di dalam istana dan tidak diperkenankan keluar kawasan istana, dia akan menjadi Kumari selama belum menstruasi. Saat seorang Kumari memasuki masa pubertas, dia akan diganti dengan Kumari yang baru. Meskipun disebut istana, Kumari Ghar ini ukurannya kecil, mungkin ukurannya tidak lebih dari 15 x 15 meter, dan terdiri dari 3 lantai. Di dalam Kumari Ghar ini terpampang larangan untuk memotret Kumari. Saat kami disana kami hanya mendengar beberapa suara bersenda gurau dari dalam istana, tapi Kumari nya tidak terlihat menampakkan diri.
Dari Kumari Ghar, kami berlanjut ke kawasan Royal Palace, sayangnya bangunan Royal Palace ini sebagian besar ditutup, karena rusak berat akibat gempa 2015 lalu. Hanya sebagian saja yang dibuka untuk umum, terutama bagian lapangan tengah istana. Di depan Royal Palace ini ada kuil hindu yang menjadi tempat tinggal ribuan burung merpati. Menyenangkan berfoto disini dikelilingi ribuan burung merpati yang jinak.
Sore hari kami kembali ke kawasan Thamel, last minute shopping sebelum berangkat ke bandara, menghabiskan sisa uang Nepalese Rupee yang masih ada, soalnya kalau dibawa pulang, di Jakarta juga susah tukarnya. Jam 6.30, kami di antar mobil hotel ke bandara. Setelah menjalani proses check in, kami mendapatkan kejutan spesial, tiket kami bertiga yang sebetulnya kelas ekonomi, di upgrade ke kelas bisnis untuk kedua segmen penerbangan, Kathmandu-Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur-Jakarta. Lumayan banget deh, bayar kelas ekonomi tapi terbang di kelas bisnis, terima kasih Malindo Air 🙂
Pesawat kami take-off dari Kathmandu tepat waktu pada pukul 21.15. Perjalanan 4 jam 45 menit ke Kuala Lumpur terasa menyenangkan, kelas bisnis gitu loh.. 😀 Makanan dan minuman nya enak-enak, in flight entertainment nya juga cukup variatif. Kami sampai di Kuala Lumpur pukul 04.30 waktu setempat. Setelah menunggu waktu transit sekitar 3 jam, yang kami habiskan di Old Town White Coffe terminal C, kami masuk pesawat menuju Jakarta sekitar jam 7.40 waktu KL. Persis jam 8.40 waktu jakarta, kami mendarat di bandara Soekarno Hatta Jakarta.
Buat yang bertanya, berapa sih harga tiket Jakarta-Kathmandu PP? Harganya sangat tergantung airline yang dipilih dan waktu booking nya. Saat ini ada beberapa airlines yang melayani rute Jakarta-Kathmandu, antara lain Malindo Air, Air Asia, Sngapore Airlines/Silk Air, Malaysia Airlines dan Thai Airways. Kisaran harga tiket mulai dari Rp 2 juta an sampai belasan juta per orang. Saya sendiri membeli tiket Malindo Air kurang dari seminggu sebelum keberangkatan, dapat harga antara Rp 5,1 juta sampai Rp 6,3 juta pp, karena tanggal berangkat dan pulangnya berbeda-beda. Jika saya simulasikan untuk keberangkatan 5-6 bulan mendatang, harganya turun jauh menjadi sekitar Rp 2,8 juta per orang p.p, rajin-rajin aja hunting tiket promo melalui beberapa portal tiket seperti traveloka, via.id ataupun tiket,com.
Biaya hotel, di Kathmandu dan Pokara kisarannya sekitar USD 30 per malam, untuk twin sharing di hotel bintang 3. Untuk makan, cadangkan saja Rp 50 ribu untuk sekali makan per orang. Sedangkan untuk biaya transportasi, kalau mau sewa mobil dengan supir, sekitar USD 50 per hari untuk wisata sekitar Kathmandu sampai Bhaktapur, dan sekitar USD 120 sekali jalan ke Pokhara, pulang ke Kathmandu nya ya USD 120 lagi. Mau naik bus atau taksi juga bisa. Taksi jarak dekat sekitar NR 300-500 sekali jalan, sedangkan jika keluar kota, tarifnya hampir sama dengan mobil sewaan. Jika Naik bus ke Pokhara, ongkosnya sekitar USD 15-20 per orang, tapi hanya ada jadwal keberangkatan jam 7 pagi saja, dan waktu tempuhnya sekitar 7-8 jam karena banyak berhenti. Tentu ada trade-off antara kenyamanan, waktu tempuh dan biaya. Bisa pilih sesuai anggaran dan waktu yang anda miliki.
Waduh asik sekali bisa sekeluarga ke Nepal… dan terima kasih sudah berbagi cerita tentang Nepal, lumayan untuk melepas rindu paling tidak, semoga saya ga nangis bombay ngliat kuil2 keren yg rubuh krn gempa (sy ke Nepal sebelum gempa). Kangen juga dg Juju Dhau… aduh pengen balik kesana lagi….
SukaSuka
Hi Riyanti, sama-sama.. rasanya memang tidak cukup sekali ke Nepal.. beruntung anda sudah melihat bangunan2 bersejarah sebelum gempa besar.. pastinya jauh lebih keren dari yang saya lihat.. 🙂
SukaSuka