D2 – 21 Juli, DenHaag-Volendam-Zaanse Schans-Amsterdam
Pagi-pagi abis mandi,saya turun ke mobil di parkiran hotel, penasaran gimana nyalain suara panduan GPS nya. Setelah utak-atik centre monitor beberapa saat, akhirnya ketemu cara menghidupkan panduan suara.. dengan mengaktifkan demonstration mode… doh..!
Abis itu lancar jaya suara panduan navigasinya.
Madurodam
Setelah sarapan dengan nasi dan dendeng Balado yang dibawa dari Jakarta, kami berangkat dari hotel sekitar pukul 9.30 pagi. Tujuan pertama, Madurodam di Den Haag. Jaraknya dari hotel kami sekitar 40 Km, dengan perkiraan waktu tempuh 30 menit. Madurodam merupakan salah satu tujuan wisata favorit bagi orang Indonesia, ini semacam taman miniatur dari berbagai bangunan terkenal di Belanda.

Harga tiket masuk 15 euro per orang, dan tarif parkir mobil 9 euro per entry. Melewati pintu masuk, kita akan disambut fotografer yang memotret kita ditaman, nantinya kalo suka boleh beli fotonya saat keluar. Di Madurodam ada miniatur airport Schiphol, pelabuhan Rotterdam, Centraal Station, kanal-kanal Amsterdam, kincir tradisional dan berbagai gedung, gereja dan kompleks2 perumahan. Berjalan-jalan di tengah bangunan miniatur ini serasa menjadi raksasa, seperti Gulliver di negeri Lilliput 🙂 Beberapa benda miniatur juga bergerak dinamis, seperti kereta, mobil2 di jalan raya, pesawat yang taxiing, beberapa obyek dapat digerakkan dengan mencemplungkan koin 1 euro, seperti miniatur theme park, ataupun DJ station nya DJ Armijn Van Beuren, lengkap dengan miniatur crowd dan ‘layar lebar’ nya.. 🙂

Saat kami di Madurodam, tidak banyak pengunjung bule, sekitar 90% pengunjung saat itu orang Asia, mayoritas turis dari India. Mungkin orang2 bule dan lokal udah bosen kesitu, Sekitar 2,5 jam kami rekreasi dan foto-foto di Madurodam, sekitar jam 12.30 keluar, tak lupa menebus foto dipintu keluar seharga 15 euro.
Volendam
Next destination,Volendam. Ini adalah desa nelayan, sekitar 40 Km dari Amsterdam, kalau dari Den Haag sekitar 80 Km, satu jam perjalanan. Volendam merupakan destinasi wajib bagi turis Indonesia, karena di desa nelayan ini ada tempat untuk foto studio dengan pakaian tradisional keluarga nelayan Belanda. Di jalan menuju Volendam, kami melewati satu kincir angin tradisional yang terlihat cantik, ada dua bis wisata parkir di dekatnya. Kamipun ikut berhenti disana untuk foto-foto. Menjelang masuk kawasan wisata volendam, saya sempat ragu-ragu karena ditengah jalanan mobil ada tiang besi berdiameter sekitar 30cm, tinggi 50 cm. Gimana mau lewat ada barrier begini..? Tapi saya lihat di sebelahnya ada traffic light menyala merah. Pelan-pelan mobil saya dekatkan ke barrier, eh.. otomatis itu barrier turun ke bawah, lampu trafficnya jadi hijau.. #norak eh.. 😛
Lewat dari barrier,mobil melewati jalan yang sempit, yang dipenuhi ratusan turis.. Sampai ragu-ragu sendiri, ini mobil boleh masuk nggak sih sebenernya..? Untung dari jauh terlihat ada mobil dari arah berlawanan, jadi yakin deh mobil boleh lewat. Mobil kita parkir di depan hotel, dengan tarif parkir 3 euro per jam.
Sampai di Volendam sudah sekitar jam 2 siang, perut sudah terasa lapar. Putri saya Vira, sudah pernah ke Volendam di tahun 2010 saat ikut misi budaya dari sekolahnya SMA Labschool kebayoran, dia merekomendasikan restoran dimana rombongan mereka makan siang dulu, namanya De Koe, menunya steak dan fish and chips. Berhubung ini desa nelayan, saya pesan fish and chips, sementara anak-anak pesan steak. Memang yummy makanannya, home cooking taste gitu deh.. Ini restoran tradisional banget, dikelola keluarga sepertinya. Saat diminta bill, waiternya nulis bill nya di taplak meja..! hehehe.. nggak terima kartu kredit pula.. cash only. Makan berempat disini costnya sekitar 70 euro. Nggak jauh beda lah kalo kita makan di steak house di Jakarta.

Kelar makan, kita menuju tempat foto dengan pakaian tradisional. Saat di depan studio foto, saya melihat seorang dengan wajah yang familiar berdiri disitu, setelah meningat-ingat.. saya tegur dia.. Loe adiknya Givrey kan..? (Givrey adalah teman kuliah saya di FEUI), dia terlihat kaget.. eh.. loe kan yang dulu di Glasgow, temen abang gw..? Ternyata benar di Andy, adiknya Givrey. Saya kenal Andy, karena dulu saat saya selesai kuliah di Glasgow dan mau pulang ke Jakarta, Andy inilah yang meneruskan sewa apartemen kami di Pinkston Drive,Glasgow. Akhirnya kami pun ngobrol dan reuni kecil2an sambil mengenang masa-masa di Glasgow. What a small world.. ketemu lagi dengan teman yang sudah lama sekali nggak ketemu, di pelosok negeri orang..:) Andy bersama anak dan istrinya baru saja foto disitu.
Display depan studio foto ini sendiri semacam Indonesian wall of fame, hampir semua foto yang dipajang di depan adalah pesohor dari Indonesia, mulai mantan presiden (GusDur, Mega), politisi, aktor, penyanyi. Rano Karno, Titik Puspa, Maya Rumantir, Mi’ing dll. Selain orang2 Indonesia, yang bukan orang Indonesia rasanya hanya pemain bola asal Brasil, Ronaldo.

Kamipun masuk kedalam, daftar untuk foto berempat. Dipakein baju tradisional dan kelom kayu, kamipun menunggu giliran untuk difoto, sambil nunggu giliran foto (dan sesudahnya), kita diperbolehkan foto-foto dengan kamera sendiri. Jadi bisa banyak fotonya di berbagai sudut studio, selama tidak mengganggu yang sedang giliran di foto resmi. Untuk foto berempat, tarifnya 26 euro, cukup murah mengingat sewa bajunya aja untuk empat orang, dan dapat foto ukuran 10R

Selesai dari foto studio, kami mampir ke toko souvenir. Pemiliknya bule Belanda yang bisa bahasa Indonesia, wajarlah, mungkin yang belanja kesitu mayoritas orang Indonesia. Di berbagai souvenir disitu, banyak foto deretan kincir kayu tradisional, saya ingat tahun 1997 saya pernah mengunjungi tempat tersebut, tapi lupa nama tempatnya apa. Saya tanya aja ke pemilik toko, dia bilang desanya namanya Zaanse Schans, sambil nulisin namanya, sekitar 30 Km dari sini katanya.. Okelah, kita lanjut kesana. Sekitar 20 menit kami sampai di Zaans Schans, cakep memang deretan kincir angin di desa ini, namun karena sudah mulai sore dan gerimis, kami hanya foto-foto aja dari kejauhan.

Dari Zaans Schans, kita lanjut ke Amsterdam lagi, si Vira pingin cari sepatu Doc Mart, tokonya ada di Kalverstraat katanya. Jarak 20an Km ditempuh dalam 15 menit. Saya parkir lagi di Centraal Station. Sampe di toko Doc Mart jam 8 malam, ternyata tokonya sudah tutup jam 7. Ya sudahlah, nanti kita cari di kota lain ya nak.. kita jalan-jalan aja sekitar Damrak, kanal, Royal Palace, dan makan malam di KFC Damrak.
Abis dari KFC, cari Hard Rock Café Amsterdam mau beli kaos. Setelah cari di GPS, ternyata tempatnya dibelakang Rijks Museum yang kemarin kita datengin.. tau gitu sekalian kemaren mampir ke HRC nya. Kaos HRC Amsterdam pun sukses dibeli 🙂 harga kaos HRCdisini sekitar 26 euro.
Abis dari HRC kita balik ke hotel, setelah sampe hotel sekitar jam 11 malam, sayapun melakukan ritual orang dewasa.. tiduur.. hehehehe..
DistanceTraveled: 190 Km
Accommodation: Best Western Schiphol Airport (4*)
Costs: Hotel 45 euro, Madurodam tiket 15 euro per pax, total 60 euro, Lunch De Koe 72 euro, Foto Tradisional 26 euro, Parkir 26 euro, Dinner KFC 26 euro
Places visited: Madurodam, Volendam, Zaanse Schans, Centraal Station, Kalverstraat, Hard Rock Café Amsterdam.
Countries visited: Netherlands
Lanjutan di: https://wp.me/p87qVT-1O