Mengelingi Ternate-Tidore

Punya  Uang Seribu Rupiah ? Oow…..tenang aja. Saya bukannya mau minta duit. Bukan…..bukan itu permintaan saya. Saya ingin Anda memperhatikan gambar pada uang seribu rupiah yang sedang anda pegang. Lihatlah pada gambar dua buah pulau yang berada di latar belakang sebuah perahu nelayan. Ada keterangan di sudut kiri atas. Bunyinya : “Pulau Matiara dan Tidore”. Nah, selama empat hari, saya berkesempatan berada di pulau yang muncul sebagai ilustrasi pada alat tukar keluaran Bank Indonesia ini.

Kamis 19 Nopember 2009

“ Tak ada yang jauh di Ternate. Dekat saja”

Kalimat ini selalu menjadi jawaban atas tiap kali bertanya seberapa jauh obyek wisata yang ingin dituju dan mencoba mengira waktu tempuh. Dan, benar saja. Dari satu obyek ke obyek yang lain, bisa hanya menempuh waktu 10 menit.


Alhasil, menelusuri Ternate dari Utara hingga Selatan bisa ditempuh dalam waktu sehari penuh. Terang saja, luas wilayah kota secara keseluruhan hanyalah 43 km2. Ternate dipadati beragam kekayaan, pertama adalah Batu Angus di kaki Gunung Gamalama yang berasall dari lahar panas Gunung Gamalama ketika meletus tahun 1673. Di area ini juga ada tugu makam balatentara Jepang yang gugur ketika bertempur melawan tentara sekutu saat Perang Dunia 2. 3 km dari Batu Angus ada Danau Tolire Besar.

Danau berwarna kehijauan itu terlihat menggoda, tak hanya bagi mata tapi juga burung burung yang mampir sejenak di atasnya. Di tepian, ada kelompok kelompok batu yang disusun rapi. Batu itu ditujukan bagi pengunjung untuk melemparnya ke danau, yang konon sejauh apapun dilempar, batu tak pernah mencapai dasar.

Perhentian selanjutnya di Rumah Makan Islam Manado bernama Baghdad, rumah makannay sih sederhana  saja, tapi masakan ikannya itu loh yang rasanya top banget. Tidak berlama lama di rumah makan tadi, kami bergerak menuju Benteng Tolukko (Portugis, 1540).


Menyebar dari Utara hingga Selatan, deretan benteng menjadi “mata” Ternate di masa silam. Mesti tak lagi menampilkan bentuk utuhnya, kumpulan benteng ini punya makna lebih dari sekedar peninggalan penjajah. Yaitu symbol perjuangan rakyat Ternate, sekaligus menyiratkan kejayaan bangsa Ternate lewat rempah rempahnya yang menjadi magnet bagi bangsa Eropa untuk berdatangan.

Benteng terbesar di Ternate adalah Benteng Oranye yang merupakan benteng pertama Belanda (1607). Disilah dulunya pusat  Pemerintahan VOC, yang menyisakan beberapa meriam serta rumah yang dulu ditinggali Jan Pieter Zoon Coen dan kini dijadikan kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Ternate. Berjarak 5 km dari Benteng Oranye, berdiri di tepi pantai Benteng Kalamata atau nama lainnya Benteng Sancta Lucia atau disebut juga Bentenmg Kayu Merah yang didirikan  Portugis.

Keesokan pagi, selesai sarapan tujuan pertama kami adalah Keraton (Kedaton) Sultan Ternate. Lokasinya terletak di sebuah bukit tidak jauh dari pantai dengan berlatar belakang Gunung Gamalama dan bagian depannya mengarah ke laut berdiri sejak tahun 1813. Di dalamnya ada koleksi keraton diantaranya Al Quran tulisan tangan yang dibuat tahun 1585, serta mahkota berambut berhiaskan 100 biji batuan bernilai tinggi. Dikatakan, rambut pada mahkota tini selalu tumbuh dan dipotong saat Hari Raya Idul Adha dengan upacara khusus. Dalam istana banyak dipajang perabot perabot istana yang sangat terawat dan ada suasana dan perasaan teduh serta sakral di ruang dalam dan pendopo keraton. Hampir  1 jam berkunjung ke keraton Sultan Ternate, perjalanan di lanjutkan ke Rumah Wallace.

Rumah Wallace terletak di Jl. Alfred Russel Wallace sekitar 100 m dari Benteng Oranye. Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli antrophologi dan ahli biologi dari Inggris yang mengusulkan teori tentang seleksi alam dimana di kemudian hari malah membuat Charles Darwin, lebih terkenal dari dia dengan teori evolusinya. Dalam penjelajahan di Nusantara ia menemukan garis imajiner yang membagi flora dan fauna Indonesia menjadi 2 bagian besar yang kemudian dikenal dengan garis Wallace.

Puas mengunjungi bangunan sekeliling Ternate termasuk melaksanakan shlat Jumat di Mesjid Kesultanan Ternate, tidak terasa hari menjelang sore dan kami sekarang menuju pantai Sulamadaha. Sulamadaha, pantai dengan pemandangan yang tersaji begitu apik. Teluk kecil berbatu batu tersusun rapi dan seolah olah membingkai Pulau Hiri yang berada tepat di sampingnya, pepohonan teduh dan perdu-perdu memberi nuansa sejuk di sekelilingnya.
Di utara pantai Sulamadaha terdapat kawasan untuk berenang, snorkeling dan selam (diving) yang sudah dibuatkan jalan yang dibeton yang medannya berliku.Lebar jalan beton hanya 1,5 m dengan tanjakan nyaris tegak lurus maka peserta renag, snorkeling dan senam terpaksa berjalan kaki untuk sampai ke lokasi selama 15 menit.

Hari ketiga, cepat bangun pagi dan cepat sarapan di hotel guna mengejar ferry di Pelabuhan Bastiong yang akan menyeberangkan kami ke Pulau Tidore tepat pukul 7 pagi. Sinar Matahari pagi yang cerah dan semangat yang tetap membara membawa kami ke pelabuhan yang jarak tempuhnya 10 menit dari penginapan. Kami langsung menaiki ferry yang di badan kapalnya terpampang motto “ We Bridge the Nation”, ferry ini berukuran sedang yang dapat mengangkut sekitar 300 penumpang, beberapa truk dan kendaraan roda dua/empat. Pelayaran menuju Tidore tidak lama, hanya sekitar 20 menit saja kami sudah turun  dari ferry menuju tempat kunjungan pertama kami Tugu Spanyol.

Di lokasi tugu ini dulunya ada sebuah benteng yang sekarang sudah terkena abrasi laut, masih tersisa adanya prasasti di tugu yang mengindikasikan adanya pendaratan armada Spanyol pertama di Tidore. Tidore di masa kolonial sebagai penghasil cengkeh bersama-sama Ternate dikenal sebagai pulau rempah-rempah. Tidore merupakan kesultanan yang berpengaruh di wilayah ini bahkan Kesultanan Tidore pada masa kejayaannya memiliki kekuasaan sampai dengan Papua. Sampai sampai terlontar pujian kebanggan dari Bung Karno “Kalau bukan karena Tidore, tidak ada lagu dari Sabang sampai Marauke”.
 

Soa Siu merupakan satu satunya kota yang terdapat di pulau ini. Kota ini merupakan kota kecil yang bersih dan lengang. Hanya sekali kali terlihat angkot dan bentor (becak bermotor) dan di sepanjang jalan berderet rumah rumah penduduk yang rata rata bagus dan bersih. Dari  Tugu Spanyol perjalanan dilanjutkan ke Keraton Sultan Tidore, Pantai Air Panas dan Benteng Tahula. Benteng Tahula yang dibangun Spanyol pada abad 17 ini terletak di pinggir jalan di tempat ketinggian, dari ketinggian benteng tersebut dapat terlihat pemandangan kota Sia Siu.
Perjalanan kami di Tidore berakhir di Pelabuhan Rum naik ferry kembali ke Ternate dan inilah akhir perjalanan kami mengelilingi Pulau Ternate dan Pulau Tidore. Hari Minggu 22 Nopember 2009 pesawat yang kami tumpangi berangkat dari bandara Baabullah tepat pukul 7 pagi Waktu Indonesia Bagian Timur langsung menuju Jakarta
Ada waktu datang dan ada waktu pergi…..apa boleh buat kitorang (kita orang) harus pulang dan pemandangan dari atas pesawat mengobati sedikit rasa sedih kami..
Naskah oleh Lutfi Sriyono (l.sriyono@gmail.com)

Foto-foto dari google

Publikasi : Buletin Info KBN Edisi 8 Tahun II Mei-Juni 2010

  

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s