Pada bulan April 2008, saya ditugaskan oleh perusahaan tempat saya bekerja pada saat itu, untuk melakukan site visit ke salah satu perusahaan penyedia jasa di lingkungan PT Freeport Indonesia. Saya menyambut antusias penugasan ini, karena saya tahu bahwa kawasan kerja PT Freeport Indonesia yang meliputi Tembagapura sampai kawasan puncak Grasberg adalah kawasan yang tertutup untuk umum. Kapan lagi bisa kesana kalau tidak dalam rangka tugas?
Dalam penugasan ini saya berangkat bersama seorang rekan kerja, Rony. Dari Jakarta kami menaiki pesawat Garuda dengan transit di Bali, total waktu perjalanan sekitar 7 jam termasuk transit. Dari Jakarta pesawat berangkat sekitar pukul 10 malam dan tiba di bandara Timika sekitar pukul 6 pagi WIT. Sampai di bandara, kami telah di jemput oleh perusahaan penyedia jasa tersebut, dan langsung dibawa menuju hotel Sheraton Timika untuk check in dan beristirahat sejenak.
Sekitar pukul 9 pagi, kami bersiap meninggalkan hotel untuk menuju Tembagapura dan Grasberg. Untuk bisa memasuki kawasan ini, kita harus mendapatkan izin dari PT Freeport yang harus diajukan sekurang-kurangnya seminggu sebelum kedatangan. Pengunjung yang telah diberikan izin masuk di lengkapi dengan kartu akses, yang harus di tap di setiap checkpoint, karena setiap kartu memiliki level akses yang berbeda.
Perjalanan dari Timika menuju Tembagapura memakan waktu sekitar dua jam, dengan rute tanjakan yang cukup ekstrim. Sepanjang jalan menuju Tembagapura banyak terdapat pos penjagaan dari TNI dan POLRI, maklum saja, konsentrat emas hasil tambang PT Freeport disalurkan melalui pipa dari atas gunung sampai ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 65 km. Tentu jalur pipa ini rawan terhadap resiko pencurian dan perusakan. Belum lagi ancaman keamanan dari OPM yang kerap melakukan serangan terhadap rombongan kendaraan. Jujur saja, ada perasaan was-was sepanjang perjalanan dari Timika ke Tembagapura tersebut.
Perubahan elevasi yang ekstrim, dari 1 meter diatas permukaan laut di kawasan pelabuhan, sampai ketinggian 2.500 an meter di kawasan Tembagapura, menyajikan perubahan alam yang sangat variatif, menjelang sampai di kawasan Tembagapura, vegetasi yang tumbuh di sepanjang jalan sangat berbeda dengan yang ada di wilayah Indonesia lainnya, pemandangannya seperti di negara-negara sub-tropis.
Sekitar jam 11 pagi kami sampai di Tembagapura. Sungguh, kota kecil ini tidak seperti berada di Indonesia. Rumah, bangunan dan kendaraan yang berada disana lebih mirip dengan yang ada di kota-kota di Amerika serikat. Meskipun saat kami tiba cuaca cukup cerah, namun ketinggian Tembagapura yang sekitar 2.500 meter di atas permukaan laut membuat awan dan kabut banyak bergantungan di sekitar Tembagapura. Seringkali jarak pandang hanya beberapa meter akibat kabut tebal, karenanya semua kendaraan disana wajib menyalakan lampu kabut dan memasang bendera agar mudah terlihat.
Setelah makan siang di restoran Lupa Lelah, kami diajak naik ke kawasan puncak Grasberg, untuk melihat fasilitas kerja perusahaan klien. Dari ketinggian 2.500 meter Jeep 4×4 yang membawa kami naik ke ketinggian 4.200an meter. Di jalan kami diperingatkan bahwa kondisi oksigen di atas lebih tipis, bagi yang tidak kuat bisa pingsan atau lemas. Disarankan tidak terlalu banyak bergerak saat di kawasan puncak Grasberg. Hmm.. mulai was-was nih.. khawatir kondisi fisik kurang fit..
Selama perjalanan menuju puncak, kami banyak berpapasan dengan kendaraan-kendaraan besar pengangkut material tambang. Kendaraan tersebut sangat besar, diameter ban nya saja sekitar 2 meter. Saya diceritakan sudah ada beberapa kejadian, kendaraan besar tersebut melindas Jeep karena tidak terlihat oleh pengemudinya di saat kabut. Makin was-was deh diceritain seperti itu.. 😦
Akhirnya kami tiba dikawasan puncak Grasberg. Setelah melihat fasilitas kerja klien kami, saya meminta izin untuk berkeliling di kawasan puncak Grasberg. Dari puncak Grasberg yang berketinggian 4285 meter, terlihat puncak Jayawijaya di seberang sana tertutup salju abadi. Sayang awan banyak menutupi puncak Jaya pada saat itu. Petugas yang menemani kami menginformasikan, dari puncak Grasberg bisa hiking selama 6 jam untuk mencapai puncak Jayawijaya di seberang sana, dan rute nya relatif mudah dibandingkan dari kawasan Mimika yang menjadi rute utama pendaki Jayawijaya. Banyak karyawan Freeport yang pernah hiking ke Puncak Jayawijaya melalui rute mudah tersebut. Setelah sekitar satu jam di kawasan puncak Grasberg kami pun kembali turun ke Tembagapura.
Kami sempat ditawarkan, apakah mau mencoba turun melalui cable car. Saya sempat tertarik, tapi begitu sampai di stasiun cable car, saya lihat jarak pandang hanya beberapa meter, tidak terlihat apa-apa dibawah sana. Kabel untuk gantungan cable car nya tampak lenyap di telan awan. Nyali sayapun ciut.. 😀
Akirnya kami memilih turun dengan Jeep saja. Kemudian kembali ditawarkan, mau lewat atas atau lewat underground tunnel? Saya dan Rony pun sepakat memilih jalur underground tunnel. Jalur underground tunnel ini sangat panjang dan banyak cabangnya. Kabarnya total panjang underground tunnel ini lebih dari 40km. Jalanan yang berada dibawah gunung ini dilengkapi dengan lampu pengatur lalu lintas untuk menghindari tabrakan di persimpangan.
Saat kami berada di tengah-tengah tunnel, petugasnya kembali bercerita, kalau pernah kejadian beberapa bagian underground tunnel ini longsor, mengubur karyawan Freeport yang sedang bekerja. Haduuuh pak.. daritadi ceritanya horror melulu sih.. bikin deg-degan aja.. 😀 Sekitar 20 menit kami berada di underground tunnel, akhirnya Jeep keluar dari undergorund tunnel dan kembali di Tembagapura. Lega rasanya keluar dari lubang dalam perut gunung.. serasa kembali ke peradaban.. 😀
Sehari di Tembagapura dan Grasberg merupakan pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Entah kapan saya bisa kembali kesana. Ada yang mau ajak saya..? 😀
prihtin masih dijajah di alam teknologi….
SukaDisukai oleh 1 orang
kita rebut kembali bro.. suatu hari..
SukaDisukai oleh 1 orang