Sebuah pagi hari di Jakarta, setelah menjalankan kewajiban sebagai seorang ayah yang mengantar sekolah anaknya dalam mengisi hari-hari cuti. Jalan Raya RS. Fatmawati sedang di puncak keruwetan, bis kota, pejalan kaki, sepeda motor dan mobil berseliweran ke segala arah. Bergaya seolah turis bohemian yang kenyang melanglang ke delapan penjuru angin, sambil menggendong travelling bag, saya melangkah yakin ke Bandar Udara Sukarno Hatta menggunakan bis DAMRI. Tujuan pelancongan kali ini, yakni sendiri mengitari Pontianak (Kalimantan Barat) – Kuching (Serawak) dan Brunei dengan ongkos semurah mungkin.
Inilah perjalanan impian petualang berkantong tipis, mengembara tanpa fasilitas kemudahan dari biro perjalanan. Seperti kata Ian Jack dalam Granta Book of Travel, perjalanan semestinya adalah petualangan pribadi, beresiko, dan menyimpan berbagai kejutan. Tapi kejutan rupanya datang terlalu cepat. Di Bandara SUTA anjungan tunai mandiri (ATM) yang dicari untuk pembayaran tiket pesawat tidak dijumpai di Terminal 1 (dalam negeri) melainkan di Terminal 2 (luar negeri), terpaksalah menawar angkutan ojek mencari ATM di Terminal 2 mungkin moda angkutan ojek dalam Bandara merupakan satu-satunya di dunia dan perlu diusulkan menambah daftar keajaiban dunia.
Kunjungan ke Pontianak diawali dengan melakukan perjalanan dengan perahu menyusuri Sungai Kapuas dari Taman Alun Kapuas. Katanya, kita belum ke Pontianak bila belum terpercik air Sungai Kapuas. Perjalanan di atas perahu itu membuat saya bisa lebih menghayati kehidupan masyarakat Pontianak yang sangat bergantung hidupnya pada Sungai Kapuas. Dari ketinggian sungai dapat terlihat Masjid Jami yang antik dan indah, Jembatan Kapuas, Kampung Beting (kampung diatas air sungai) dan Tugu Khatulistiwa.
Puas berperahu di Sungai Kapuas, perut terasa lapar perlu diisi dan saya menuju rumah makan “Teratai Indah” di Kuala Kakap Muara Sungai Kapuas. Rumah makan ini menyajikan hidangan laut (seafood). Hidangan yang dipesan berupa ikan senangin bakar, udang goreng, sup jagung dan tak lupa sambal lalap.
Dengan perut kenyang saya kembali ke Pontianak untuk beristirahat, malam hari dengan menggunakan bis saya akan melakukan perjalanan jauh (8 jam) ke Kuching melewati perbatasan Entikong (Kalimantan Barat) dan Tebedu (Serawak).
Malam hari tepat pukul 21.00 berkumpul di jalan Sisingamangaraja menggunakan bis SJD bernomor polisi KB-7727 AP (Rp. 150.000,- dengan AC) menuju Kuching dan se-kitar pukul 05.00 pagi keesokan harinya bis SJS sudah menginjak perbatasan Indonesia-Malaysia. Disini semua penumpang harus menjalani pemeriksaan keimigrasian, tidak lama di pos imigrasi dan tanpa perlu membayar fiskal perjalanan ke luar negeri dilanjutkan ke kota Kuching.
Patung binatang kucing bertebaran di kota Kuching menyambut kedatangan saya, cukup nikmat juga menghabiskan waktu di Kuching. Malam hari ratusan tenda terbuka menjajakan makanan di sepanjang tepian Sungai Serawak. Suasana mirip bazar. Disini, makanan sangat bervariasi dari mulai laksa, satai kajang, sup tom yam kung, sampai makanan ala barat yang lekker, plus bonus sinar rembulan serta pemandangan yang indah di seberang sungai terlihat “Istana Negeri” meriah dengan sinar lampu sorot terang benderang dan Fort Margherita (musium kepolisian). Perut kenyang membuat mata dengan cepat lelap.
Esoknya penjelajahan dilanjutkan dengan mengelilingi kota dimulai menyusuri Pasar Terbuka di jalan Gambir Jamek berada. Sejenak melepaskan lelah di ketinggian Tua Pek Kong (vihara) sambil menikmati kue khas Serawak dengan memandang Sungai Serawak membuat lelah cepat meluntur. Jangan lewatkan kunjungan ke Musium Serawak dekat alun-alun kota yang menyajikan berbagai barang peninggalan kuno juga Musium Sejarah Cina yang menggambarkan kedatangan awal orang-orang Cina untuk berdagang. Namun lebih penting dari itu semua kunjungan ke Musium Kucing yang mungkin satu-satunya musim binatang kucing di dunia, memamerkan lebih dari 4.000 barang-barang yang berkaitan dengan kucing mulai yang terbuat dari keramik, kayu, karet hingga gelas baik dalam bentuk pot, piring, patung hingga kuburan kucing.
Tak terasa waktu menjelajahi Kuching telah habis, pusat rehabilitasi orang utan di Semanggok dan perkampungan suku Dayak dengan atraksi rumah panjangnya belum sempat dikunjungi, isi dompet, jatah untuk transportasi dan akomodasi perjalanan, sudah tandas. Lagi pula, waktu cuti usai sudah. Saatnya mengakhiri petualangan dan kembali ke alam nyata. Target menjelajahi Brunei dalam satu paket perjalanan terpaksa tak kesampaian namun menjadi impian kunjungan berikutnya.
Naskah oleh Lutfi Sriyono (l.sriyono@gmail.com)
Publikasi : Majalah Berikat Edisi XXVI/ Januari-Pebruari 2006
Foto-foto oleh Lutfi dan dari google