Leonardo Da Vinci & Ojekers


Pembaca agaknya bertanya-tanya apakah ada hubungan personal antara pelukis Leonardo da Vinci dengan pengayuh ojek sepeda atau yang saya sebut sebagai ojekers ?. Kedutaan Besar Republik Italia dalam rangka memperingati hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia selama lebih dari 70 tahun sekaligus memperingati 500 tahun meninggalnya sang maestro Leonardo da Vinci, menggelar pameran lukisan reproduksinya bertempat di Museum Mandiri Jalan Lapangan Setasiun no. 1 Jakarta Kota depan setasiun Jakarta Kota BEOS.

Sepanjang hidupnya Leonardo hanya membuat lukisan maha karya sebanyak 17 lukisan yang dibuat antara tahun 1470 hingga 1513.
Tujuh belas lukisan duplikat karya Leonardo yang aslinya tersebar di pelbagai manca negara, digantung dan dibuat dengan teknik digital canggih sesuai aslinya. Semua lukisan itu diproduksi berdasarkan ukuran atau bentuk aslinya dan memberi sudut pandang yang luar biasa bagi pengunjung dalam memahami sang jenius Leonardo da Vinci.

Pameran “Leonardo Opera Omnia” dibuka untuk umum mulai 06 Pebruari hingga 03 Maret 2020 lalu. Lukisan berjudul “The Last Supper”/Perjamuan Terakhir (1498) merupakan karya fenomenal Leonardo. Di lokasi aslinya tembok kastil Santa Maria delle Grazia, Milan, Italia pengunjung harus rela antri karena pihak pengelola lukisan mural yang selamat dari gempuran bermacam perang ini hanya boleh dikunjungi 1000 orang perhari saja. Pembatasan ini untuk menghindari warna-warna di lukisan itu memudar akibat suhu manusia yang berada di sekitar lukisan. Memandangi “The Last Supper” di dalam ruangan museum yang disinari cahaya lampu temaram dibarengi sejuknya alat pengatur suhu dengan layar ukuran 460cmx880cm ingatan melayang pada film “The da Vinci Code” yang diadaptasi dari novel laris 2003 dengan judul sama karya Dan Brown mengkisahkan misteri dibalik lukisan tersebut.


Berpindah dari “The Last Supper” menuju lukisan wanita paling terkenal “Mona Lisa” (1501), yang juga punya antrian yang panjang untuk melihatnya langsung di Museum Louvre, Paris Perancis. Aslinya lukisan tersebut adalah lukisan minyak di atas kayu, lukisan ini sering dianggap sebagai salah satu lukisan paling terkenal di dunia. Lukisan setengah badan yang menggambarkan wanita yang tatapannya menuju pengunjung dengan ekspresi misterius.

Selain dua lukisan sohor di atas masih tersisa 15 lukisan lagi diantaranya “La Belle Ferroniere”, lukisan dengan teknik patung mengundang pengunjung untuk berjalan mengitarinya yang lain “Lady with an Ermine” (perempuan dengan cerpelai) aslinya tergantung di Museum Nasional Krakow, Polandia.


Keluar ruang pamer lukisan dan sebelum menuruni lantai dua menuju lantai dasar museum langkah terhenti dan terpana atas keotentikan lukisan kaca patri buatan awal abad ke 20. Peletakan kaca patri yang persis di muka ruang pamer yang dahulunya digunakan sebagai ruang rapat memiliki maksud khusus yaitu lukisan yang sangat bercirikan Negara Kincir Angin ini akan membuat para pengunjung gedung merasakan suasana Belanda saat memandang kaca patri tersebut, sehingga rasa rindu akan kampung halaman dapat sedikit terobati. Lukisan memiliki lima bilah yang menceritakan antara lain empat musim di Belanda, selain itu juga menggambarkan nakhoda Cornelis de Houtman sebagai orang Belanda pertama yang berkunjung ke Nusantara.


Beranjak meninggalkan Museum Mandiri berjalan kearah Museum Fatahillah, di tengah perjalanan kami hentikan seorang ojekers, saat ini sesuai amatan jumlah ojekers jauh bekurang dibanding kunjungan kami beberapa tahun lalu ada kemungkinan mereka kalah bersaing dengan maraknya ojek online berbasis sepeda motor. Mengitari kota tua bersama ojekers merupakan kunjungan ulangan dengan ojek sepeda di tahun 2007 lalu, di mulai dan di awali berhenti di jembatan kota Intan, sebuah jembatan “jungkit” warisan Belanda dengan konstruksi besi dan kayu.

Tidak jauh dari jembatan Kota Intan sepeda berhenti di depan Toko Merah (1730) bangunan berwarna merah bergaya Tionghoa. Toko Merah memiliki sejarah kelam sebagai tempat pembantaian etnis Tionghoa sekitar pertengahan abad 18.


Kayuhan ojekers melaju melalui Museum Bahari dan Menara Syahbandar. Menara tempatnya tidak terlalu luas tapi cukup rindang. Konon menara yang dibangun tahun 1839 itu berfungsi memandu kapal laut masuk Batavia, sebuah tugu berdiri di pelataran di masa lalu tugu dijadikan penanda kilometre 0. Tapi kemudian titik kilometer 0 di pindah ke Monumen Nasional (Monas). Di bawah menara ditemukan pintu yang menyambung ke dalam ruangan bawah tanah menuju Masjid Istiqlal. Semasa penjajahan, lokasi Masjid Istiqlal berdiri merupakan banteng Belanda.

Seberang Menara di Jalan Tongkol ada bangunan memanjang di dinding luarnya tertulis Galangan VOC sekarang sebagian bangunan dijadikan rumah makan. Akhirnya selesailah perjalanan wisata lokal, kebersamaan dengan ojekers disudahi di depan Museum Mandiri.

Dibanding tahun 2007 dimana perjalanan pulang pergi menggunakan bis Transjakarta tiga belas tahun kemudian moda transportasi berubah dengan bis wisata bertingkat dan MRT Jakarta singkatan dari Moda Raya Terpadu (bahasa Inggris : Jakarta Mass Rapid Transit) jurusan Bundaran Hotel Indonesia-Lebak Bulus.

Naskah dan foto: Lutfi Sriyono (l.sriyono@gmail.com)

1 Comments Add yours

  1. Steven Toh berkata:

    Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Leonardo da Vinci yang mengatakan: “Detail-detail membuat kesempurnaan, dan kesempurnaan bukanlah suatu detail. Contohnya, dari pengalaman menunjukkan kita bahwa langit pastilah memiliki kegelapan di luarnya namun langit selalu tampil biru.”
    Saya mencoba menulis blog tentangnya, semoga anda juga suka http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/03/wawancara-dengan-leonardo.html

    Suka

Tinggalkan komentar