Kata orang bijak, mantan biarlah jadi kenangan, tak usah ada kontak, apalagi pergi menemui mantan.. π Tapi kali ini saya bulatkan tekad untuk menemui mantan, bisa jadi, inilah mantan terindah..
Eits, jangan mikir yang gimana-gimana ya..π yang saya sambangi kali ini adalah mantan propinsi ke 27 Republik Indonesia yang dulu bernama propinsi Timor Timur, namun telah menjadi negara merdeka sejak tahun 2002. Pasca referendum tahun 1999, rakyat Timor memilih untuk berpisah dari Republik Indonesia dan mendirikan negara Timor Leste atau East Timor. Proses kemerdekaan dibawah pengawasan PBB berlangsung selama 3 tahun.
Petualangan saya ke Timor Leste dimulai dari Bali dengan menggunakan maskapai Citilink. Saat check in di Bandara Ngurah Rai, petugas citilink melakukan screening, menanyakan apakah saya sudah pernah ke Dili sebelumnya, kesana mau ngapain dan berapa lama, tiket pulangnya mana, nginep dimana dan bawa uang berapa. Sempet heran juga, udah kayak petugas imigrasi aja nih petugas check in citilink.
Tapi mungkin ini sudah prosedur yang diminta oleh otoritas Timor Leste, seperti juga yang dilakukan petugas check in counter maskapai lain jika kita mau ke negara tertentu. Selesai check in, saya menuju imigrasi, dan pertanyaan-pertanyaan serupa ditanyakan lagi oleh petugas imigrasi Ngurah Rai. Ketat juga ya prosedur menuju Timor Leste ini. Jadi makin penasaran, seperti apa sih negara Timor Leste ini.
Pesawat Citilink meninggalkan Bali sekitar jam 9.15 pagi, 10 menit lebih cepat dari jadwal. Setelah menempuh perjalanan selama 1 jam 40 menit, pesawat tiba di bandara Presidente Nicolau Lobato Dili sekitar jam 12.05 siang, waktu Dili lebih dahulu 1 jam dari waktu Bali. Bandara Dili ini termasuk bandara kecil, dan belum mendapatkan sentuhan modernisasi. Setibanya di bandara saya langsung menuju counter visa on arrival.
Pemegang paspor Indonesia dikenakan biaya VOA sebesar USD 30. Pembayaran VOA hanya dengan uang tunai, tidak bisa dengan kartu kredit atau kartu debit. Setelah paspor saya ditempelkan sticker VOA, saya menuju arrival hall, mengisi arrival card dan custom form baru ke counter imigrasi. Di imigrasi Timor Leste, petugas kembali menanyakan hal-hal yang tadi ditanyakan petugas citilink dan petugas imigrasi Ngurah Rai. Saya jawab saja sejujurnya π
Selepas imigrasi saya langsung keluar bandara karena tidak membawa bagasi. Maklum, saya hanya satu malam saja berkunjung ke Timor Leste. Jika anda berkunjung ke Timor Leste, pastikan anda membawa uang tunai USD. Timor Leste ini sebetulnya punya mata uang sendiri, Centavos, 100 centavos = 1 USD. Tapi Centavos hanya ada coin 100 dan 50 Centavos.
Untuk transaksi sehari-hari, mata uang resmi di Timor Leste adalah USD. Namun demikian, Rupiah Indonesia juga diterima di beberapa tempat di kota Dili. Yang unik, di Dili ada beberapa ATM Bank Mandiri dan Bank BRI, tapi mesin ATM ini hanya mengeluarkan uang USD. Dimana lagi bisa tarik USD dari ATM Bank Mandiri atau BRI..? π
Dari bandara menuju pusat kota Dili, anda dapat naik taksi dengan tarif flat USD 10, atau naik angkot dari luar bandara dengan tarif 100 Centavos. Saya memilih naik taksi agar lebih cepat sampai dan bisa segera mengeksplorasi kota Dili. Taksinya sedan Nissan tua tanpa AC. Diperjalanan supirnya menawarkan untuk mengantar saya ke tempat wisata di Dili. Setelah negosiasi, di sepakati dia akan mengantar saya ke patung Cristo Rei dan Resistance Museum, dengan menambah USD 20 lagi.
Tujuan pertama adalah patung Cristo Rei De Dili, yang menjadi landmark kota Dili. Patung Yesus Kristus setinggi 27 meter ini terletak di atas bukit di Tanjung Fatucama, sekitar 12 km dari pusat kota Dili. Patung ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1996, sebagai kado peringatan 20 tahun integrasi Timor Timur ke Indonesia. Untuk menuju kaki patung, anda harus mendaki sekitar 500 anak tangga. Jangan lupa bawa minum, lumayan capek juga naik ke atas. Siang ini kawasan Cristo Rei tidak banyak pengunjung. Dari kawasan ini kita bisa melihat pemandangan kota Dili dari ketinggian, juga pemandangan samudra lepas. Berkunjung ke patung Cristo Rei ini tidak dipungut biaya.
Saya kemudian kembali ke pusat kota, menuju East Timorese Resistance museum, isinya sejarah perjuangan rakyat Timor Leste memisahkan diri dari Republik Indonesia. Tiket masuknya USD 1. Kunjungan ke museum membuka mata saya mengenai sejarah lepasnya Timor Leste dari koloni Portugal menyusul kudeta di Portugal tahun 1974, integrasi Timor Timur menjadi propinsi Indonesia pada tahun 1976 dan berbagai pergolakan sampai terjadinya Referendum tahun 1999 dan kemerdekaan Timor Leste tahun 2002.
Jika selama ini saya hanya tahu cerita versi pemerintah orde baru, setelah berkunjung ke museum ini saya banyak mendapatkan informasi dari sisi perjuangan bangsa Timor Leste. Satu hal yang membuat saya tercekat, dalam satu panel di museum ini di tulis bahwa dalam 4 tahun pertama integrasi Timor Timur ke Republik Indonesia, 25% rakyat Timor Timur tewas. Sayang di dalam museum kita tidak boleh mengambil foto.
Dari museum, sekitar jam 3 sore supir taksi yang bernama Amel mengantar saya ke hotel. Sampai di hotel Plaza yang telah saya booking sebelumnya, saya check in dan istirahat sejenak di kamar. Hotel bintang 3 ini tarifnya USD 72 per malam. Gayanya seperti highway motels di Amerika. Hotel ini juga merupakan asrama bagi lembaga sosial Australia, sebagian kamar hotel ini disewa jangka panjang oleh Australian Volunteers Program.
Sekitar jam 4.30 sore, saya melangkahkan kaki keluar hotel. Karena hotel Plaza terletak tak jauh dari pantai Dili, kesanalah tujuan saya di sore yang masih lumayan terik ini. Jalan kaki sekitar 10 menit, saya sampai di pantai Dili.
Pantai Largo De Lecidere ini bukan termasuk pantai untuk rekreasi. Di sepanjang pantai ini tak ada pengunjung yang berenang, kebanyakan yang ada di pantai ini adalah nelayan yang sedang melakukan persiapan untuk berlayar. Di ujung barat pantai terlihat terminal peti kemas dan pelabuhan utama kota Dili.
Sekitar 800 meter ke arah barat dari Largo De Lecidere, terdapat gedung Palacio Do Governo, kantor pusat pemerintahan Timor Leste. Jaman integrasi, gedung ini adalah kantor gubernur Timor Timur, kini menjadi istana kepresidenan dan berbagai kementrian Republik Timor Leste. Di seberang gedung ini ada plaza menghadap pantai dengan hiasan meriam-meriam tua.
Lelah jalan kaki berkeliling pusat kota Dili, saya kembali ke hotel untuk beristirahat. Sebelum sampai hotel, saya sempatkan untuk mencoba kuliner favorit di kota Dili, Burger King.. hehehehe.. π Di kota Dili baru ada satu shopping mall, Timor Plaza. Jaringan franchise internasional baru ada Burger King dan Gloria Jeans Coffee.
Sabtu pagi, 13 Oktober, setelah sarapan di hotel saya berjalan kaki menuju pemakaman Santa Cruz. Jaraknya sekitar 2 km dari hotel, dapat ditempuh dengan jalan santai sekitar 20 menit. Sepanjang jalan menuju Santa Cruz banyak terdapat kantor, mini market dan juga bank, salah satunya kantor cabang Bank BRI Timor Leste.
Sampai diluar pagar pemakaman, saya teringat arsip video yang ditayangkan di Museum Resistance kemaren. Di pemakaman inilah terjadi tragedi kemanusiaan pada tahun 1991. Lebih dari 200 orang tewas di pemakaman ini saat menghadiri pemakaman seorang tokoh perjuangan Timor Leste. Prosesi pemakaman yang dibarengi aksi protes dari warga Timor, dihadang dengan kekerasan oleh aparat. Terbayang kembali rekaman video warga berdiri di pagar pemakaman membentangkan spanduk protes sembari meneriakkan yel-yel.
Ironisnya, pada saat tragedi ini terjadi, kebanyakan warga Timor yang tewas adalah mereka yang mencari perlindungan di chapel di tengah pemakaman ini, tempat yang seharusnya penuh kedamaian. Menurut cerita Amel supir taksi yang kemaren mengantar saya, semua orang yang berlindung di chapel ini tewas dihujani tembakan aparat.
Tragedi Santa Cruz tahun 1991 ini menjadi titik balik hubungan Indonesia dengan Timor Timur. Jika sebelumnya negara-negara seperti Amerika, Inggris, Australia dan sekutunya mendukung integrasi Timor Timur ke Indonesia, akibat tragedi ini dukungan mereka berbalik, mendukung diselenggarakannya referendum, agar warga Timor bebas menentukan pilihan, tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak. Akhirnya referendum dilaksanakan pada Agustus 1999, dan hasilnya 78% warga menolak integrasi dengan Indonesia.
Timor Leste telah menjadi negara merdeka. Atas kesalahan Indonesia dimasa lalu, presiden Abdurrahman Wahid telah menyampikan permohonan maaf saat berkunjung ke Dili pada tahun 2001. Setelah belasan tahun menjadi negara merdeka, Timor Leste mulai mempromosikan negaranya sebagai salah satu destinasi wisata. Selain 2 penerbangan langsung dari Denpasar yang dilayani Citilink dan Sriwijaya Air, juga ada penerbangan Silk Air dari Singapura. Timor Leste telah membuka pintu bagi wisatawan dunia, yuk kunjungi mantan terindah kita…π