Yangon (dahulu Rangoon) adalah kota terbesar di Myanmar (dahulu Burma) dan sekian lama menjadi ibukota dari Myanmar, sebelum akhirnya pada tahun 2012 ibu kota administratif pindah ke Naypyidaw. Namun demikian, sampai saat ini sebagian besar fungsi pemerintahan masih berada di Yangon, begitu pula dengan kedutaan besar negara-negara sahabat, semua masih berlokasi di Yangon.
Meskipun sejak tahun 1998 Myanmar bergabung sebagai anggota terakhir ASEAN, rezim militer yang berkuasa pada saat itu membuat Myanmar bagai negara tertutup. Sejak 2012, pemerintah Myanmar membuka peluang investasi bagi investor asing. Yangon sebagai kota terbesar di Myanmar menerima banyak arus dana investasi asing, menjadikan Yangon sebagai New Kid on The Block di kawasan ASEAN.
Jika umumnya warga negara ASEAN bebas mengunjungi negara ASEAN lain tanpa visa, Myanmar masih mewajibkan seluruh pengunjung memiliki visa untuk berkunjung kesana sampai tahun 2013. Untungnya, sejak kunjungan presiden SBY ke Myanmar pada 2013, pemerintah Myanmar dan Indonesia sepakat untuk meningkatkan kerjasama bilateral, sehingga sejak tahun 2014, paspor Indonesia bisa digunakan ke Myanmar tanpa visa. Saat ini baru 6 negara di dunia yang bebas visa ke Myanmar, termasuk Indonesia. Di ASEAN, warga Singapura, Thailand dan Malaysia masih perlu visa untuk ke Myanmar.
Saya berkunjung ke Yangon pada bulan Maret 2015 lalu, dalam kunjungan singkat selama 3 hari 2 malam, cukup banyak tempat wisata dan aktivitas menarik di seputaran Yangon yang bisa dilakukan. Jika berencana menghabiskan akhir pekan Jumat sampai Minggu dengan berkunjung ke Yangon, bisa intip rekomendasi berikut ini.
Bagaimana menuju kesana?
Dari Indonesia belum ada penerbangan langsung ke Yangon. Untuk menuju Yangon musti transit di Singapura, Kuala Lumpur atau Bangkok, dari sana melanjutkan penerbangan ke Yangon. Jika lewat Singapura, bisa menggunakan Singapore Airlines, Silk Air atau Tiger Air. Jika melalui Kuala Lumpur bisa menggunakan Malaysia Airlines atau Air Asia, sedangkan jika lewat Bangkok bisa pilih pesawat Thai airlines atau Air Asia.
Harga tiket pesawat dari Jakarta-Yangon pulang pergi bervariasi, saat low season dan jika pesan jauh hari, Jakarta-Yangon dengan Air Asia bisa diperoleh dengan harga sekitar Rp 2,5 juta pulang pergi. Usahakan mengambil pesawat paling pagi dari Jakarta, karena total penerbangan Jakarta-Yangon kurang lebih sekitar 4 jam tidak termasuk waktu transit, dengan waktu transit, tambahkan 2-4 jam lagi, tergantung connecting flight nya.
Jika ingin mencoba memasuki Myanmar dari darat, saat ini hanya bisa dilakukan melalui Thailand. Perbatasan darat dari India, Bangladesh, China dan Laos sampai saat ini masih tertutup untuk kunjungan wisata.
Saya sendiri mengunjungi Yangon dengan menggunakan penerbangan kombinasi Singapore airlines dan Silk Air. Berangkat dari Jakarta jam 9.20 pagi, tiba di Yangon pada pukul 15.45 sore. Oh ya, waktu lokal di Yangon 30 menit di belakang Jakarta.
Transportasi lokal
Di Yangon, saat ini Taksi banyak tersedia. Namun demikian, Taksi ini umunya milik perorangan dan tidak menggunakan Argo. Jenis mobil yang digunakan sebagai Taksi sangat beragam, mulai dari mobil kecil seperti Cherry QQ sampai sedan Toyota Camry, yang paling banyak adalah Toyota Probox (mobil 7 seater seperti Innova). Karena tidak pakai Argo, taksi di Yangon harus tawar-menawar, umumnya pengemudi Taksi mengerti bahasa Inggris, minimal pasif. Tarif taksi berkisar USD 1-1,2 per km (1000-1.200 kyat, 1 USD = 1.040 kyat). Sebaiknya cari tahu jarak tujuan anda sebelum menawar taksi.
Sepeda motor dilarang beredar di Yangon, jadi tidak ada angkutan sejenis ojek disana. Bus kota cukup banyak di Yangon, sayangnya semua petunjuk dalam aksara Sanskrit, pengemudi dan kenek bus umumnya tidak berbahasa Inggris, kecuali anda punya jiwa petualang dan nggak takut nyasar, sebaiknya lupakan keinginan berkeliling Yangon dengan bus.
Tempat Menarik
Meskipun baru membuka diri sejak tahun 2012 setelah rezim militer berakhir, Myanmar terlihat berusaha mengejar ketinggalan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Saat saya kesana Maret 2015, terlihat banyak pembangunan jalan raya, jembatan layang dan gedung-gedung baru sepanjang jalan dari bandara menuju pusat kota Yangon. Jalanan juga cukup macet, karena sejak 2012 dibolehkan mengimpor mobil dari negara tetangga, sehingga jumlah mobil meningkat pesat tak seimbang dengan pertumbuhan jalan. Uniknya, mayoritas mobil baru di impor dari Thailand dan India yang menggunakan setir kanan, sementara di Myanmar lalu lintas nya menggunakan jalur kanan.
Jarak dari bandara Yangon ke pusat kota sekitar 15 km. Sepanjang jalan suasananya seperti kota-kota kecil di Indonesia, banyak ruko-ruko 3-4 lantai di kiri-kanan jalan. Sampai di rumah sahabat saya, Harryansyah, kita rehat sejenak dan selanjutnya berkeliling kawasan kota ditemani sahabat saya yang bertugas di KBRI di Yangon. Mayoritas penduduk Myanmar beragama Buddha, sehingga banyak kita temui pagoda di sekitar Yangon. Pagoda terbesar di kota ini adalah Shwedagon pagoda. Saat berkeliling kota kami melewati Shwedagon, namun saya baru berencana ke Shwedagon di hari Sabtu.
Setalah berkeliling kota sore hari, kami makan malam di hotel Sule Shangrila, satu dari sedikit hotel bintang 5 di Yangon yang baru dibuka pada tahun 2014 lalu, sebelumnya hotel ini adalah hotel lokal bernama Traders hotel. Menunya set menu 7 entrée, kombinasi Chinese food dan Myanmar food, cukup enak makanan disini. Setelah makan malam, sahabat saya mengajak bertualang berkeliling Yangon dengan sepeda. Wah, tawaran menarik yang langsung saya setujui.
Yangon Night Ride
Dengan sepeda pinjaman yang dicarikan sahabat saya, kami berkumpul di sisi barat Shwedagon pagoda. Waktu kumpul jam 22.00. Acara night ride ini ternyata memang program rutin setiap Jumat malam, yang di koordinir oleh ekspatriat asal Australia. Mulanya kegiatan ini terbatas pada teman-temannya, namun kemudian berkembang menjadi program yang terbuka untuk umum.
Saat tiba di titik kumpul, sepeda pinjaman yang saya gunakan ternyata kempes kedua ban nya. Beruntung ada warga lokal yang membawa pompa tangan. Saat saya memompa ban, rombongan yang berkisar 50 an bikers mulai bergerak jalan. Alhasil, setelah selesai memompa, di lokasi hanya tertinggal 4 orang, 2 orang lokal Yangon dan saya beserta sahabat saya. Dengan bahasa isyarat, warga lokal tersebut mengajak kita ngebut mengejar rombongan yang sudah tidak terlihat. Lucunya, kedua warga Yangon tersebut naik sepeda pake sarung.. wuidiih.. nggak ngeri kebelit pedal atau jeruji roda saat ngebut tuh.. 😀 Sekitar lima menit ngebut, akhirnya rombongan besar terlihat dan kami berhasil bergabung di sekitar Sule Pagoda.
Rute night ride ini melewati berbagai tempat wisata utama Yangon, seperti Shwedagon pagoda, Sule Pagoda, Kandawgyi Park, China Town dan danau Inya. Rute sekitar 25 kilometer ini di tempuh dalam 2 jam, termasuk 2 stop, dimana setopan kedua mengambil tempat di warung kopi lokal, dengan sajian teh susu khas Myanmar dan penganan lokal yang mirip dengan wingko babat di Indonesia. Mengendarai sepeda malam hari di Yangon tidak terasa melelahkan, selain suhu udara cukup sejuk sekitar 22 derajat, jalanannya relatif datar dengan trek aspal mulus, pemandangan sepanjang jalan juga cukup indah, sayang karena kecepatan rombongan rata-rata 15 km/jam, saya tak bisa mengambil foto saat bersepeda, hanya pada saat rehat saja. Sekitar jam 12 malam, night ride ini berakhir di dekat Inya lake, sungguh perjalanan 2 jam yang sangat berkesan. Dari lokasi bubaran sampai ke rumah sahabat saya, masih harus gowes lagi selama 30 menit. Capek tapi seru..!
Bogyoke Market
Setelah olahraga pagi dengan bermain Tennis, Sabtu siangnya saya berkunjung ke Bogyoke Market (dibaca Bojog), yang merupakan pusat belanja batu mulia dan souvenir khas Myanmar. Myanmar memang terkenal sebagai penghasil batu mulia seperti Ruby dan Jade. Di pasar tradisional ini, kalau niat membeli batu mulia, harganya relatif sama dengan di Thailand atau China, tidak banyak diskon yang bisa diberikan pedagang batu mulia, karena mereka mengikuti harga pasaran internasional. Namun untuk produk-produk souvenir dan kerajinan tangan, dari harga yang ditawarkan pedagang umumnya bisa diskon sekitar 10-20%, tergantung bakat menawar. Souvenir tempelan kulkas, gantungan kunci, piring hias, t-shirt, tas, dompet sampai sarung (Longyi) khas kerajinan Myanmar banyak dijual disini. Harga tempelan kulkas dan gantungan kunci berkisar 2.000-4.000 kyat, tas dan dompet rajutan berkisar 4.000-10.000 kyat, kurs per Maret 2015, 1 kyat = 12 rupiah.
Di pasar ini juga banyak penjual jajanan pasar khas Myanmar, mulai dari makanan sejenis dodol, minuman Mont Let Saung yang mirip es cendol dan es campur, ada juga minuman yoghurt lokal, gorengan Budi Jo yang isinya sayuran, dan yang paling terkenal Mohinga, bihun dengan sup ikan khas Myanmar. Rasanya pingin cobain semua, apa daya perut cepat kenyang 😛 Karena Myanmar berbatasan dengan Thailand, India dan China, pengaruh makanan dari negara-negara tersebut sangat kuat dalam makanan Myanmar.
Kandawgyi Park
Salah satu tujuan wisata utama di Yangon, Kandawgyi Park merupakan sebuah telaga yang dikelilingi taman, dimana di tengah telaga ini ada bangunan floating restaurant yang berbentuk 2 naga, yang dinamai Karaweik Palace. Restoran ini menyajikan buffet makanan Myanmar dan juga menu internasional. Untuk makan malam, di tempat ini ada pertunjukan sendra tari tradisional Myanmar. Harga buffet untuk makan malam cukup mahal, USD 30 per orang. Jika kesini untuk makan siang, tidak ada cultural show, harga buffet nya pun jadi lebih murah, sekitar USD 20. Di kompleks Kandawgyi Park ini juga terdapat taman botani dan kebun binatang. Tiket masuk Kandawgyi Park 500 kyat per orang.
Sule Pagoda
Pagoda ini terletak di tengah kawasan bisnis pusat kota Yangon, sehingga mudah di jangkau, namun parkir di sekitar pagoda ini cukup sulit. Umunya pengunjung memarkirkan kendaraan di pertokoan atau hotel yang ada di sekitar Sule Pagoda. Meskipun bukan yang terbesar, Sule Pagoda adalah pagoda tertua di yangon, diperkirakan dibangun pada 500 tahun sebelum masehi. Pagoda ini juga merupakan titik kumpul masyarakat Yangon untuk kegiatan yang melibatkan massa banyak, seperti kampanye politik maupun demo dan protes, mungkin perannya mirip bundaran HI di Jakarta.
Emperor of India Tomb
Raja terakhir India, Bahadur Shah Zafar, diasingkan oleh pemerintah Inggris ke Burma pada tahun 1857, dan meninggal disana di tahun 1862. Raja yang beragama islam tersebut dimakamkan di Rangoon, kemudian istri dan anak-anaknya juga dimakamkan disana. Saat pemerintah kolonial Inggris menguburkan Shah Zafar, mereka merahasiakan lokasi makam Shah Zafar dari rakyat India. Setelah ditemukan 3 makam di kota Rangoon pada tahun 1900an, barulah masyarakat Burma dan India menyadari bahwa kompleks makan tersebut adalah makam raja terakhir India. Selama puluhan tahun ketiga makam tersebut di anggap sebagai makam Shah Zafar beserta istri dan putranya, sampai tahun 1991, saat menggali pondasi di kompleks tersebut, barulah makam Shah Zafar yang sebenarnya ditemukan.
Saat ini di samping kompleks makam, terdapat masjid yang menjadi salah satu masjid utama di Yangon. Beberapa pengurus masjid dan makam ini bisa berbahasa Melayu, saat saya berkunjung, saya didampingi marbot yang bisa berbahasa Melayu, meski sepotong-sepotong. Kompleks makam dan Masjid ini selalu ramai dikunjungi peziarah terutama dari India dan Pakistan, juga oleh warga muslim lokal yang menjalankan ibadah sholat 5 waktu di masjidnya. Akulturasi budaya hindu dan islam terlihat jelas di kompleks makam ini. Di sekitar makam terlihat banyak sesaji yang diletakkan oleh peziarah, begitu pula di halaman makam, banyak peziarah yang menyalakan dan menancapkan dupa untuk berdoa. Memang yang berziarah di kompleks makam ini tidak hanya umat islam, juga umat hindu. Menjelang waktu maghrib, masjid disini menyediakan ratusan piring makan malam bagi muslim yang berpuasa ataupun yang sekedar sholat maghrib disana.
Shwedagon Pagoda
Inilah pagoda terbesar di Yangon. Sahabat saya menganjurkan, kalau mau ke Shwedagon sebaiknya setelah matahari terbenam, karena Shwedagon akan terlihat lebih cantik dengan siraman cahaya lampu. Begitu pula warga lokal yang beribadah, lebih banyak di malam hari dengan menyalakan lilin dan obor, sehingga suasana sakral lebih terasa. Kami tiba di kompleks Shwedagon sekitar pukul 19.00. Harga tiket masuk bagi turis internasional 8.000 kyat, sementara bagi warga lokal gratis, karena Shwedagon adalah tempat ibadah bagi umat Buddha di Myanmar. Untuk mencapai pagoda, pengunjung menaiki lift dari area reception, alas kaki dan kaos kaki juga harus dititipkan disini. Celana pendek tidak diperkenankan, disediakan sarung bagi pengunjung yang mengenakan celana pendek atau rok pendek, pinjamnya gratis tapi harus bayar jaminan 5.000 kyat yang akan dikembalikan saat mengembalikan sarung.
Shwedagon Pagoda adalah kompleks pagoda terluas dan tertinggi di Yangon. Pagoda ini dianggap pagoda paling skaral bagi umat Buddha di Myanmar, karena diyakini di dalam Pagoda utama yang dibangun di abad ke 6 ini, tersimpan potongan rambut dari Gautama. Bangunan pagoda ini dibuat dari batu bata yang dilapisi emas asli. Saat saya berkunjung, sebagian stupa pagoda sedang dilapis ulang dengan lembaran emas tipis yang direkatkan. Shwedagon pagoda memiliki ketinggian 112 meter, untuk menghormati Shwedagon pagoda, bangunan di sekitar Shwedagon tidak boleh lebih tinggi dari 112 meter. Puncak Shwedagon ini dihiasi dengan 4531 berlian, dengan berlian terbesar berukuran 72 karat. Jika kita berdiri pada titik tertentu, kita bisa melihat berlian terbesar ini merefleksikan spektrum cahaya yang berbeda, kadang terlihat berwarna hijau, biru, kuning, tergantung posisi mata kita saat melihatnya.
Di kompleks Shwedagon pagoda ini banyak sekali kuil kecil dengan berbagai patung Buddha, tempat umat Buddha beribadah. Setiap kuil ramai dikunjungi umat Buddha baik yang berpakaian biasa maupun yang berpakaian Bhiksu. Turis diperbolehkan mengambil foto di semua sudut Shwedagon, namun tentu harus menghormati umat yang sedang beribadah. Benar rekomendasi sahabat saya, Shwedagon Pagoda terlihat sangat indah dimalam hari, warna emasnya begitu berkilauan tertimpa cahaya lampu, ramainya umat yang beribadah menambah kesan magis pagoda ini. Lantunan doa yang di panjatkan umat yang beribadah serta suara lonceng yang dibunyikan, obor dan dupa yang menyala di sekeliling pagoda memperkuat kesan sakral pagoda yang discukan oleh umat Buddha di Myanmar ini. Sempatkan mengunjungi Shwedagon bila anda berwisata ke Yangon.
Inya Lake
Minggu pagi sebelum pulang, kami melewati Inya Lake. Danau terbesar di kota Yangon ini berada di utara pusat kota. Kebanyakan warga Yangon datang kesini untuk piknik, berolah raga ringan, jogging, senam, ataupun bermain kano dan perahu wisata. Inya lake juga menjadi tempat favorit bagi remaja Yangon untuk berpacaran.. hehehe.. banyak sekali bangku-bangku berkapasitas dua orang di sekeliling Inya lake ini. Kawasan perumahan di sekitar Inya Lake adalah kawasan perumahan paling elit di Yangon. Mantan perdana mentri Burma, Ne Win berumah di pinggir Inya Lake, begitu pula peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 Aung San Suu Kyi, dan juga duta besar Amerika untuk Myanmar. Sayangnya, saya hanya menengok Inya Lake dalam perjalanan pulang ke Bandara Yangon di minggu pagi, sehingga tidak banyak mengeksplorasi danau ini.
Perjalanan 3 hari 2 malam di Yangon pun berakhir di bandara internasional Yangon. Ke Yangon aku kan kembali. 🙂