Studi Komparatif ke National University of Singapore dan Universiti Malaya 1993

Saya bukan pengusaha biro perjalanan wisata, bukan juga individu yang sering mengadakan open trip berkelompok, tapi saya pernah lho membawa 120 orang melakukan perjalanan wisata ke Singapura dan Malaysia, pada tahun 1993 selama 10 hari, sekitar 25 tahun lalu! Ceritanya gini, pada pertengahan tahun 1992 dalam rapat awal semester ganjil di senat mahasiswa, ketua senat kami membahas program yang setiap tahun dilakukan oleh senat, studi komparatif ke perguruan tinggi lain.

Dalam tahun-tahun sebelumnya, studi komparatif ini mengunjungi perguruan tinggi di Jawa, Bali dan Sumatera, biasanya diikuti sekitar 20-30 orang pengurus senat dan mahasiswa. Saat ketua senat meminta masukan tujuan studi komparatif untuk tahun depan, banyak yang mengusulkan nama-nama PTN di Sumatera dan Jawa. Giliran saya menyampaikan usulan, dengan belagunya saya bilang.. “ngapain kita studi komparatif ke fakultas ekonomi di universitas yang kualitasnya tidak lebih baik dari kita, nilai tambah apa yang bisa kita peroleh..?” Ruangan senat mendadak hening.. lalu ketua senat balik nanya ke saya.. “usul loe gimana..?” Gantian saya yang terdiam gak bisa langsung jawab.. setelah mikir sejenak, dengan asal njeplak saya jawab.. “kenapa kita nggak studi komparatif ke fakultas ekonomi PTN di Singapura dan Malaysia, yang ranking globalnya lebih baik dari kita..? Mustinya banyak yang bisa kita pelajari dari mereka, dan jalan-jalannya juga pasti lebih seru..”

Rapat mendadak riuh.. banyak yang ngetawain ide saya, ada yang komentar “ngayal aja loe.. “ .. “Biayanya bakal terlalu mahal, mahasiswa pada nggak sanggup..” ada juga yang bilang..”belum pernah ada yang bikin studi komparatif ke luar negeri..” dan sejenisnya. Tambah njeplak lagi saya jawab.. “ya kita cari sponsor dong.. biar biayanya terjangkau..” setelah cukup lama rapat jadi riuh.. lalu ketua senat bilang, “OK kalo gitu elu gue tunjuk jadi PO nya ya..” Lhaa.. tadinya saya cuma iseng lempar ide.. tapi baiklah.. terlanjur kasih ide gila, saya harus siap menanggung konsekuensinya 😀

Langkah pertama, saya cari tim panitia yang bisa bantu dalam pelaksanaan studi komparatif ini. Jika umumnya organisasi kepanitiaan acara senat panitianya bisa 20an orang lebih, saya maunya panitia acara ini ramping dan efisien, cukup 8 orang termasuk saya. Saya kemudian bikin iklan di papan pengumuman senat, mencari 7 orang panitia studi komparatif. Yang saya cari mahasiswa yang punya koneksi di KBRI Singapura dan Malaysia, punya koneksi ke perusahaan-perusahaan yang bisa jadi sponsor dan yang mau kerja gila dan nekad bareng saya. 8 orang panitia tidak ada yang punya pengalaman membawa rombongan keluar negeri, modal nekad semua 😀

Target kita waktu itu, total acara 10 hari, kunjungan 5 hari di Singapura dan 5 hari di Malaysia, mengunjungi fakultas ekonomi PTN disana, melakukan seminar tentang ekonomi kawasan, pertandingan olahraga persahabatan dan pertunjukan seni budaya. Untuk transportasi direncanakan pergi-pulang naik pesawat, transportasi darat dengan bus sewaan, dengan target biaya peserta tidak sampai USD 300 per orang.

Akhirnya dapatlah tim yang saya cari. Ada yang merupakan keponakan dari wakil dubes RI di Kuala Lumpur, ada yang merupakan kerabat dari atase pertahanan di Singapura, ada juga yang kerabat dari pejabat maskapai Garuda Indonesia. Setelah rapat-rapat panitia, diputuskan Studi Komparatif dilaksanakan saat liburan semester, pada 25 januari-3 Februari 1993, dengan mengunjungi fakultas ekonomi National University of Singapore dan Universiti Malaya di Kuala Lumpur. Di targetkan, jumlah peserta sekitar 30-40 orang, cukup yakin akan lebih banyak dari jumlah peserta studi komparatif tahun-tahun sebelumnya.

Meskipun belum dapat sponsor sama sekali, dengan percaya diri dan rada nekad, pada bulan September 1992 kami memasang iklan pendaftaran studi komparatif ke National University of Singapore dan Universiti Malaya selama 10 hari, dengan biaya hanya USD 299 all in. Biaya ini termasuk pesawat, hotel, transportasi darat selama di Singapura dan Malaysia, acara wisata dan makan 3 kali sehari. Sebagai informasi, saat itu masih ada biaya fiskal LN, untuk fiskal udara sebesar Rp 250.000 per orang, dan harga tiket pesawat Jakarta-Singapura paling murah sekitar USD 250, tahun 1992-1993 itu belum ada low cost airline lho, semuanya full service airlines. Untuk perbandingan, biaya paket tour ke Singapura 3 hari 2 malam dari travel agent saat itu sekitar USD 350 per orang, belum termasuk fiskal. Kurs 1 USD pada akhir tahun 1992 saat itu sekitar Rp. 2.100. Dalam perhitungan kami, iuran peserta sebesar USD 299 ini bisa memenuhi 50% biaya sebenarnya, sisanya kami harapkan bisa ditutupi dari dana sponsor.

Diluar dugaan kami, saat pendaftaran dibuka, yang berminat ikut studi komparatif ini lebih dari 500 orang mahasiswa dari seluruh angkatan, padahal target kami hanya 40 orang saja, sesuai dengan kapasitas bus sewaan yang akan membawa kami saat mengunjungi universitas dan berwisata disana. Melihat animo yang begitu besar, kami berembug untuk menambah kapasitas peserta. Agar efisien, jumlah peserta harus dalam kelipatan 40, sesuai dengan kapasitas bus wisata. Awalnya kami naikan kuota jadi 80 peserta, tapi karena masih banyak yang ingin tetap ikut, akhirnya kami naikkan lagi jadi 120 peserta, dengan mempertimbangkan daya tampung akomodasi yang akan kami gunakan di Singapura dan Kuala Lumpur.

Karena yang mendaftar lebih dari 500 orang, panitia terpaksa membuat seleksi, dengan kuota tertentu di setiap angkatan. Prioritas terbesar diberikan kepada mahasiswa tahun 4 dan 5 (jaman itu kuliah rata-rata selesai 5 tahun lebih), dengan pertimbangan tidak ada kesempatan lagi bagi ‘angkatan tua’ atau OC (old crack) untuk ikut studi komparatif ke luar negeri. Mahasiswa tahun ke 2 dan ke 3 prioritas kedua, sedangkan mahasiswa tahun pertama prioritas terakhir. Prioritas juga diberikan pada mahasiswa yang menonjol dalam diskusi menggunakan Bahasa Inggris, karena kami akan melakukan berbagai seminar disana, dan juga kepada yang berbakat seni dan olahraga, karena akan melakukan pertandingan olahraga persahabatan dan pentas seni. Setelah melalui proses seleksi dengan wawancara dan esay, terpilihlah 120 peserta untuk mengikuti studi komparatif ke NUS dan UM. Plus sekitar 10 orang lagi yang masuk daftar cadangan, jika ada peserta yang mengundurkan diri. Dari pendataan, sekitar separuh peserta belum memiliki paspor, sehingga panitia juga musti memberikan tips pembuatan paspor.

Jaman itu belum ada internet dan email, komunikasi hanya dengan telepon dan fax. Setelah berkorespondensi dengan dekanat fakultas ekonomi Universiti Malaya dan National University of Singapore melalui fax, akhir November 1992, saya dan adik kelas saya Dani, melakukan survey sekaligus pemesanan akomodasi, bus dan hal-hal terkait logistik dan acara kunjungan ke Singapura dan Malaysia. Dalam survey ini, mulai muncul beberapa masalah. Meskipun akomodasi tempat rencana kami menginap memiliki daya tampung yang cukup untuk 120 orang, mereka tidak mau menerima rombongan sebesar itu sekaligus, karena menurut mereka, begitu rombongan kami checkout, hotel mereka langsung kosong, sementara jika hanya separo yang diterima, mereka bisa mengisi kamar-kamar dengan tamu lain yang durasi menginapnya berbeda-beda, sehingga hotel terus menerus ada tamu yang cukup. Argumen yang masuk akal, ilmu baru bagi kami yang amatiran dalam mengurus grup besar. Akhirnya untuk di Singapura kita terpaksa membagi reservasi peserta ke dua hotel, sebagian di YMCA, dan sebagian lagi di YWCA. Di Kuala Lumpur, saat itu tidak ada budget hotel yang mau menerima kami sekaligus. Namun atas bantuan dari Universiti Malaya, kami mendapat rekomendasi ke Wisma Belia, yang dapat menampung 120 orang sekaligus.

Masalah kedua, saat liburan semester kami di bulan Februari, ternyata juga sama dengan jadwal liburan di kedua Universitas tersebut, dekanat disana tidak bisa menjamin ada mahasiswa dalam jumlah yang cukup untuk berbagai program acara yang kami usulkan, karena banyak mahasiswa mereka yang berlibur atau pulang kampung. Akhirnya, kami melakukan pendekatan langsung dengan senat mahasiswa disana, terutama di UM, mereka cukup antusias dengan proposal studi komparatif kami dan menjamin akan mengerahkan mahasiswa mereka selama kunjungan kami. Menurut mereka, baru pertama kali ini ada kunjungan resmi dari universitas lain dari luar negeri dalam jumlah cukup besar.

Sekembalinya ke Jakarta, kami melanjutkan upaya pencarian sponsor untuk menutup kekurangan biaya 50% yang telah kami perhitungkan. Jika tiap peserta memerlukan subsidi sebesar USD 300, untuk 120 peserta ini kami harus mendapatkan dana sponsor sebesar USD 36.000, jumlah yang sangat besar bagi kami pada saat itu. Harapan kami, sponsor terbesar akan datang dari Garuda dalam bentuk diskon harga tiket, dan penghematan biaya fiskal LN, dimana seorang rekan kami menginformasikan peraturan dirjen pajak saat itu yang membebaskan biaya fiskal LN bagi misi budaya dan olahraga. Kamipun mengajukan permohonan bebas fiskal ke dirjen pajak untuk rombongan kami.

Sekitar dua bulan sebelum keberangkatan, sponsor yang diharapkan dari Garuda dalam bentuk diskon harga tiket ternyata tidak kami dapatkan. Garuda saat itu memilih opsi sponsorship untuk beriklan di banner dan merchandise dalam acara, dengan nilai sponsorhip sekitar USD 4.000, meskipun jauh dari harapan, sponsorship ini tetap kami syukuri. Masih USD 32.000 lagi target sponsorship yang harus kami kejar. Karena Garuda tidak memberikan diskon tiket, akhirnya kami hunting tiket maskapai penerbangan lain. Mungkin memang sudah jalannya, salah satu anggota panitia mendapatkan informasi bahwa maskapai Cathay Pacific sedang ada promo untuk rute Jakarta-Singapura PP, dari harga normal tiket sebesar USD 250, jadi hanya sebesar USD 120, buru-buru kami kontak Cathay Pacific, namun kami diinformasikan bahwa promo itu tidak berlaku untuk rombongan besar, hanya bisa untuk perorangan atau grup kecil sampai 10 orang.

Dasar mahasiswa, kami tidak menyerah begitu saja, kami akali dengan memecah reservasi jadi grup-grup kecil 6-8 orang, tiap reservasi di pesan oleh orang yang berbeda dan dari travel agent yang berbeda, dan taktik ini berhasil..! hehehehe.. 😀Kami berhasil membeli 120 tiket dengan harga hanya USD 120, lumayan banget, penghematan sebesar USD 130 per orang ini mengurangi defisit anggaran kami sekitar USD 15.000, masih perlu sekitar USD 17.000 lagi untuk menutupi biaya. Namun kemudian kami mendapat berita kurang bagus, permohonan pembebasan fiskal luar negeri yang kami ajukan ditolak oleh Dirjen pajak, karena setelah mereka mempelajari proposal kami, menurut mereka, acara seminar, olahraga dan misi budaya ini bukan atas nama negara, sehingga tidak dapat diberikan pembebasan fiskal. Penolakan bebas fiskal ini membuat defisit anggaran kami kembali membengkak, karena harus membayarkan biaya fiskal peserta sebesar Rp 250.000 (ekuivalen USD 120) per orang. Bayangkan saja, iuran peserta USD 299 (setara Rp 620.000 saat itu), harus dikurangi Rp 250.000 untuk biaya fiskal, tersisa Rp 370.000 per orang untuk pesawat, akomodasi, makan, transportasi darat dan wisata untuk 10 hari.. gimana nggak pusing pala barbie 😀

Satu bulan sebelum keberangkatan, anggaran kami masih defisit sekitar USD 30.000. Namun kemudian, satu persatu sponsor mulai masuk, dengan nilai sponsor antara USD 500 sampai USD 3.000, sehingga defisit bisa berkurang sampai tersisa defisit sekitar USD 10.000. Kami, 8 orang panitia sudah bertekad acara ini harus tetap jalan, kalau terpaksa harus nombok dan berhutang, ya harus terima konsekuensinya. Kira-kira 3 minggu sebelum keberangkatan, kami menerima undangan dari KBRI Singapura dan KBRI Kuala Lumpur untuk jamuan makan malam bagi seluruh peserta, kemudian undangan dari keluarga sultan Selangor untuk makan malam di kediamannya. Diikuti konfirmasi dari NUS dan UM bahwa mereka akan menyediakan hidangan selama kunjungan dan acara kami di kampus mereka. Berbagai jamuan ini dapat menekan biaya yang telah kami cadangkan untuk biaya makan peserta hampir separuhnya. Sehingga defisit sekitar USD 10.000 boleh dibilang nyaris tertutupi oleh berbagai jamuan ini.

Dua hari sebelum keberangkatan, diberitakan di koran dan televisi bahwa seluruh karyawan dan crew Cathay Pacific melakukan mogok kerja selama 3 hari. Paniklah panitia 😀 Kami segera menghubungi Cathay Pacific untuk memastikan rencana keberangkatan kami, dan diinformasikan bahwa jadwal keberangkatan tetap sesuai rencana, dan manajemen Cathay Pacific telah mencharter pesawat dari maskapai lain untuk melayani penumpang selama periode mogok kerja. Pada hari H, 25 Januari 1993 pagi, kami berangkat dari bandara Soekarno-Hatta menuju bandara Changi, Singapura, dengan dilepas oleh dekan kami, bapak Prof. Arsjad Anwar. Rombongan kami saat itu di dampingi oleh dua orang dosen, pak Sunardji dan pak Yasin. Maskapai yang kami tumpangi ke Singapura adalah Monarch airlines, yang sebetulnya adalah maskapai asal Inggris, di charter oleh Cathay Pacific.

Sampai di Singapura, dengan 3 bus wisata yang kami charter, kami menuju penginapan, peserta wanita di YWCA Outram, dan yang pria menginap di YMCA Gan Eng Seng. Jarak kedua hostel ini sekitar 1 km, agak menyusahkan koordinasi memang, apalagi jaman itu belum ada ponsel. Panitia musti sibuk bolak-balik jalan kaki antara kedua hostel ini setiap kali melakukan koordinasi. Hari pertama ini masih acara bebas, tidak ada acara resmi.

Hari kedua, kami melakukan studi komparatif ke fakultas ekonomi National University of Singapore. Disini kami diajak berkeliling fasilitas kampus NUS yang sangat modern, dan kemudian melaksanakan seminar mengenai AFTA (Asean Free Trade Area) yang saat itu baru merupakan wacana. Seminar ini dilaksanakan di auditorium fakultas ekonomi yang berbentuk theater. Lengkap dengan microphone di setiap meja theater. Hal yang baru bagi kami, mengingat fasilitas di kampus kami saat itu masih ndeso 😀 Selesai seminar, kami makan siang di kampus NUS.

Hari ketiga, kami melakukan pertandingan olahraga persahabatan dan kunjungan ke perpustakaan NUS, yang saat itu cukup sepi karena sedang libur. Malamnya kami dijamu makan malam oleh KBRI Singapura di gedung KBRI, ini adalah makan malam paling mewah dalam acara kami. Sebagian peserta tampil membawakan berbagai tarian tradisional dan band di KBRI singapura.

Hari keempat, kami melakukan wisata ke berbagai tempat wisata di Singapura, mulai dari Sri Mariaman temple, little india, masjid sultan, chinatown, raffless place, merlion park, mount faber, lalu naik cable car ke Sentosa island.

Malamnya kami melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Kuala Lumpur. Setelah melewati imigrasi, kami melanjutkan perjalanan panjang dari Singapura ke KL. Saat itu belum ada jalan tol dari Singapura ke KL, sehingga perjalanan dengan bus memakan waktu cukup lama, sekitar 7-8 jam.

Hari kelima, kami sampai di Wisma Belia Kuala Lumpur di pagi hari. Hari pertama di KL ini merupakan hari bebas, sebagian peserta melanjutkan istirahat karena lelah dari perjalanan panjang dari Singapura. Malamnya, kami dijamu oleh KBRI Kuala Lumpur di KBRI.

Hari keenam, pagi kami berkunjung ke Fakulti Ekonomi Universiti Malaya. Kunjungan kami di UM ini disambut antusias oleh mahasiswa UM. Acara kami seharian cukup padat, selain seminar dan diskusi mengenai AFTA, seharian itu kami melakukan pertandingan olahraga persahabatan, tennis, badminton, basket dan sepakbola.

Malamnya, kami mengadakan acara titian muhibah, pentas tari dan band dari mahasiswa kedua universitas. Acara yang sangat menyenangkan dan penuh rasa persahabatan. Acara muhibah kami ke UM rupanya cukup menarik minat wartawan, berita kunjungan dan acara kami ke UM di muat di harian Berita Nasional kessokan harinya. Kapan lagi masuk koran Malaysia.. hehehehe.. 😀

Hari ke tujuh, kami melakukan wisata keliling Kuala Lumpur, mulai dari lapangan merdeka, monumen revolusi, istana negara, masjid jamek, batu caves. Malamnya di Wisma Belia, kami mengadakan makan malam bersama teman-teman kami dari senat Fakultas Ekonomi Universiti malaya.

Hari ke delapan kami kembali melakukan wisata di seputar Kuala Lumpur, dan ke masjid biru Selangor. Malamnya, kami diundang oleh salah satu anggota keluarga kerajaan Selangor untuk makan malam dirumah kediamannya, lengkap dengan hiburan band.

Hari Kesembilan adalah shopping day. Setelah checkout dari Wisma Belia, peserta kami bawa ke Central market untuk belanja oleh-oleh. Seru juga melihat banyak yang belanjanya kalap. Sekitar jam 10 malam, kami meninggalkan kuala Lumpur untuk kembali ke Singapura, karena pesawat yang kembali ke Jakarta bertolak dari Singapura.

Hari kesepuluh pagi, kami tiba di Singapura sekitar jam 6 pagi, sementara pesawat kami di jadwalkan berangkat dari Changi sekitar jam 12 siang. Sisa waktu beberapa jam ini masih dimanfaatkan beberapa peserta untuk last minute shopping di kawasan Chinatown. Jam 9 pagi kami meninggalkan kawasan Chinatown menuju bandara Changi. Peserta sebanyak sekitar 100 orang pulang ke Jakarta hanya di dampingi 1 panitia dan 2 dosen pendamping. Beberapa peserta dan 7 panitia yang selama 10 hari acara ini praktis tidak bisa menikati liburan karena mengurus berbagai hal, memilih extend dan memulai liburan setelah peserta pulang. Sekitar 12 orang yang tersisa ini melanjutkan perjalanan lewat darat ke Thailand.

studkom2
studkom3

4 Comments Add yours

  1. A Aziz N berkata:

    Luar biasa O.O, zaman sekarang saja, dengan berbagai kemudahan komunikasi, sering susah koordinasi.

    Tahun segitu (saya masih balita), tidak terbayangkan..

    Suka

    1. Trims Aziz..
      Jaman dulu terpaksa kreatif dan rada nekad dalam banyak hal.. 😀

      Suka

  2. Saraswati berkata:

    ceritanya luar biasa Pak Nelwin

    Suka

    1. Terima kasih apresiasinya Saraswati.. 😊

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s