Georgia on My Mind

Setelah meninggalkan pos imigrasi Azerbaijan, yang lorongnya sangat panjang dan menanjak dengan banyak anak tangga (cukup merepotkan karena kami membawa koper masing-masing), kami tiba di jembatan yang menghubungkan Azerbaijan dengan Georgia. Di ujung jembatan, pos imigrasi Georgia telah menanti. Kami menyiapkan printout e-visa dan melangkah menuju counter imigrasi, namun langkah kami dihentikan oleh dua orang petugas. Mereka menanyakan kami dari negara mana, tujuan ke Georgia mau apa, apakah sudah ada reservasi hotel dan tiket pesawat pulang, bawa uang berapa, bahkan diminta menunjukkan uang yang dibawa. Setelah pemeriksaan awal dari dua petugas ini barulah kami diizinkan menuju counter imigrasi. Di counter ini kita hanya difoto dan cap paspor saja, tidak ditanya-tanya lagi. Lewat imigrasi dan scanning bagasi, kami disapa oleh seorang pemuda Georgia yang telah menunggu kami. Namanya Gega, pemuda ini yang bertugas menjadi driver dan guide selama perjalanan kami di Georgia dan Armenia.

Kami memasukkan barang-barang bawaan kami ke mobil van dan melanjutkan perjalanan darat, begitu masuk ke Georgia sekitar pukul 4.30 sore tanggal 31 Maret 2025, kami langsung disuguhi pemandangan perbukitan hijau dan suasana yang lebih rustic. Meskipun secara ekonomi, pendapatan per kapita Georgia (USD 8.300 tahun 2024) lebih tinggi dari Azerbaijan (USD 7.100 tahun 2024), namun terlihat rumah-rumah dan bangunan di Georgia tidak sebagus di Azerbaijan. Suasana pedesaan yang kami lewati terasa sekali sisa-sisa pengaruh Uni Sovyet / Rusia. Bangunan-bangunan flat yang cenderung seragam dan warna yang cenderung suram. Berbeda dengan Azerbaijan yang 95% penduduknya beragama Islam, Georgia mayoritas penduduknya (sekitar 85%) pemeluk Kristen Orthodox, pemeluk Islam sekitar 10%. Karenanya, sepanjang perjalanan dari perbatasan kami banyak melihat bangunan gereja bergaya Orthodox, seperti yang banyak terdapat di Rusia. Salah satu gereja orthodox yang kami lewati adalah Gremi church, yang terletak diatas bukit. Gereja yang dibangun pada abad 16 ini tampak megah dan cantik.



Setelah menempuh perjalanan darat sekitar dua jam, tujuan pertama kami di Georgia sore ini adalah kota Telavi, pusat dari Kakheti region yang terkenal dengan produksi anggurnya. Gega mengajak kami keliling kota Telavi dan menunjukkan beberapa tempat yang akan kami kunjungi esok hari.

Kami kemudian diantar ke Seventeen Rooms Hotel, hotel butik yang nyaman dan homey. Suasananya tenang, cocok untuk beristirahat setelah perjalanan panjang. Malam itu kami menikmati suasana pedesaan Georgia yang damai, dengan udara sejuk dan langit berbintang. Pemandangan dari jendela kamar hotel kami begitu cantik, pegunungan dengan puncak yang diselimuti salju tebal. Makan malam kali ini kami memesan layanan room service, ditambah dengan bekal rendang dan dendeng balado yang kami bawa dari Jakarta.



Selasa pagi 1 April 2025, kami memulai hari dengan sarapan di hotel. Di Georgia ini kami harus bertanya untuk makanan buffet yang disediakan, karena sebagian adalah menu non-halal. Sekitar jam 9.30 pagi kami checkout dari hotel dan memulai hari dengan kunjungan ke kompleks Batonis Tsikhe. Kompleks ini dulunya adalah Istana Raja Erekle II (King Erekle II Palace), raja yang berkuasa di Telavi pada abad 17. Istana ini merupakan peninggalan raja legendaris Georgia yang pernah mencoba menyatukan wilayah-wilayah Caucasus. Sebelum memasuki istana, kami terlebih dulu mengunjungi museum yang ada di kompleks ini. Di museum ini dipajang berbagai informasi sejarah Georgia, sejak jaman pra-sejarah jaman pertengahan sampai abad 20.

Kami melanjutkan kunjungan ke Istana Raja Erekle II (Heraclius II). Bangunannya relatif sederhana untuk sebuah istana, dengan jendela bermotif kaca warna-warni dan dinding tembok. Namun istana ini sarat sejarah, menceritakan bagaimana raja-raja yang pernah tinggal disini memiliki hubungan dengan Persia, Ottoman dan Rusia. Karenanya, ornamen dan arsitektur istana ini memiliki gabungan unsur islam dan kristen orthodox. Istana ini dikelilingi dengan taman hijau dan pemandu lokal yang mendampingi kami menjelaskan peran penting Raja Erekle II dalam sejarah Georgia. Masa kememimpinan Raja Erekle II menyatukan Caucasus, dengan wilayah kerajaan sampai ke wilayah Azerbaijan dan Armenia.


Kemudian kami mampir ke Telavi Bazaar, pasar tradisional tempat warga lokal menjual hasil bumi, rempah-rempah, dan berbagai oleh-oleh khas. Kami mencicipi Churchkhela, camilan khas Georgia dari kacang dan sirup anggur yang dikeringkan. Meskipun pasar ini lebih banyak menjual makanan pokok, daging, sayur dan buah, namun ada juga beberapa kios yang menjual souvenir kota Telavi dan Georgia, termasuk topi khas Georgia. Menyenangkan berkeliling dan berinteraksi dengan pedagang di pasar ini. Meskipun ini termasuk pasar basah, namun tidak ada bau yang mengganggu dan pasar terlihat sangat bersih. Harga souvenir di pasar ini cukup murah. Magnet kulkas misalnya, dapat dibeli dengan harga 3 Lari (1 Lari sekitar Rp 6.100)



Berikutnya adalah pengalaman menarik di Khareba Winery, salah satu kilang anggur terkenal di Georgia. Winery ini dibangun jaman Uni Sovyet, mereka membuat terowongan di kaki gunung dengan total panjang lorong mencapai 7km. Udara dingin yang ada dalam lorong ini cocok untuk penyimpanan botol wine. Kami berkeliling ke dalam terowongan bawah tanah tempat anggur-anggur disimpan. Sebagian wine yang disimpan ini telah berusia lebih dari 50 tahun. Kemudian kami diajak mengunjungi kebun anggur. Pada awal bulan April ini belum memasuki masa tanam yang optimal, sehingga hanya sedikit pohon anggur yang terlihat. Di sini, kami juga mengikuti workshop membuat khachapuri, roti isi keju khas Georgia. Seru sekali kami diajari mengolah adonan tepung, digiling dan dibentuk, kemudian diisi keju dan dipanggang. Setelah khachapuri matang, kami menikmati makan siang khacapuri khas Georgia yang kami buat sendiri, ditemani lemonade segar.



Perjalanan kami lanjut ke arah utara menuju Kazbegi. Di tengah perjalanan, kami berhenti di Panorama Waduk Zhinvali (Zhinvali Reservoir), danau buatan berair biru kehijauan yang dikelilingi perbukitan. Spot ini sangat Instagrammable, disediakan beberapa spot foto berbentuk love dan lingkaran. berbeda dengan di Indonesia dimana kita harus membayar kepada pengelola setempat untuk foto di spot khusus, spot foto yang disediakan di Panorama ini gratis, tidak ada yang nungguin dan mengutip bayaran.



Tak jauh dari sana, kami mengunjungi Benteng Ananuri (Ananuri Fortress) yang berdiri di pinggir danau. Arsitektur kunonya sangat menarik, dengan menara dan gereja tua yang masih berdiri kokoh. Guide kami Gega mengajak kami memanjat ke menara benteng. Jalan menuju menara ini berupa ramp tanpa anak tangga. Cukup curam dan musti berhati-hati, karena tidak ada tali atau railing pengamannya. Menara benteng ini terdiri dari beberapa lantai, puncak menara merupakan basis pertahanan Ananuri dimasa lalu, disini tentara kerajaan berpatroli dan menembakan anak panah untuk melindungi benteng dari penyerang. Di benteng Ananuri ini juga ada gereja orthodox yang masih digunakan. Dari halaman gereja ini ada lorong rahasia yang tembus ke tepian sungai dibawah kompleks benteng, berguna untuk penyelamatan dalam kondisi darurat.



Menjelang malam, kami tiba di Memoir Hotel Kazbegi yang terletak di kaki gunung dengan pemandangan luar biasa. Dari balkon hotel, kami bisa melihat puncak Gunung Kuro dan Gunung Shani yang berselimut salju. Barisan pegunungan ini adalah perbatasan alam antara Georgia dan Russia. Di belakang gunung-gunung ini sudah merupakan wilayah Russia. Dari hotel tempat kami menginap, pos imigrasi perbatasan Georgia dan Russia hanya berjarak sekitar 7km. Banyak sekali truk-truk logistik yang membawa barang lintas negara dari Russia ke Georgia dan sebaliknya, melewati kawasan Kazbegi ini.



Pagi hari Rabu 2 April 2025, saya mulai dengan jalan santai di Kazbegi sambil menikmati udara dingin dan pemandangan pegunungan yang luar biasa. Lumayan, sambil menunggu waktu sarapan, bisa jalan santai sekitar 3km di sekeliling hotel. Setelah sarapan, kami menuju salah satu landmark Georgia, Gereja Gergeti Trinity (Gergeti Orthodox Church). Gereja ini berdiri megah di atas bukit, dengan latar belakang Gunung Kazbek yang menjulang. Perjalanan naik ke atas bukit cukup menantang, tapi pemandangannya sepadan, terasa magis dan tenang. Menjelang kawasan puncak gunung, dataran kiri dan kanan jalan mulai tertutup salju. Meskipun sudah bulan April, kawasan ini masih diselimuti salju karena posisinya yang cukup tinggi, sekitar 2.200 meter diatas permukaan laut. Ingin rasanya berlama-lama menikmati pemandangan gunung-gunung salju yang mengelilingi gereja ini, namun angin pagi itu cukup kencang dan terasa dingin menusuk. Cucu kami yang belum terbiasa di suhu udara yang sangat dingin, menangis rewel karena merasa tidak nyaman. Kamipun turun dari kawasan puncak Gergeti church dan mengajak cucu bermain salju dibawah yang anginnya tidak terlalu kencang.



Destinasi berikutnya, kami singgah di Gudauri Viewpoint, area tinggi yang menawarkan panorama pegunungan Georgia yang spektakuler. Di kawasan ini ada monumen persahabatan Georgia dengan Russia, yang dibangun pada tahun 1983. Saat kami tiba di tempat ini, hujan salju turun cukup deras membuat sekaliling tempat ini berwarna putih, terasa seperti negeri dongeng. Tumpukan salju yang cukup tinggi ditengah monumen persahabatan menjadi daya tarik utama pengunjung untuk bermain salju dan berfoto disini.



Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari Gudauri, sore harinya kami tiba di Tbilisi, ibukota Georgia, dan check-in di Glarros Hotel Tbilisi Old Town. Hotel ini sangat strategis dan dekat dengan banyak destinasi wisata kota tua. Setelah rampung check in, kami segera mencari tempat untuk makan, karena siang tadi tidak sempat makan di Gudauri. Tak jauh dari hotel kami ada mall yang cukup besar, Liberty Square mall. Kami makan sore di KFC yang ada di mall ini. DIbandingkan dengan Azerbaijan, harga-harga makanan dan souvenir di Georgia lebih murah. Selesai makan, kami menyempatkan berkeliling di sekitar Liberty square dengan tugu St George sebagai titik sentralnya, juga menyempatkan jalan kaki keliling kota tua sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat.



Kamis pagi, 3 April 2025, sambil menunggu keluarga bersiap, saya berjalan kaki di sekitar kota tua Tbilisi, sampai ke arah jembatan Bridge of Peace yang membentang diatas Kura River. Di seberang sungai tedapat Gereja Metekhi Virgin Mary Assumption, salah satu gereja utama di kota Tbilisi. Saya kemudian kembali ke hotel untuk sarapan bersama keluarga di Glarros hotel.

Sekitar jam 9.30, Gega menjemput kami di hotel, dan mengajak kami mengunjungi situs arkeologi Uplistsikhe, kota kuno dari zaman sebelum masehi yang dibangun di atas batu. Gua-gua alami, lorong-lorong sempit, dan struktur kuno memberi gambaran tentang kehidupan masa lampau di Georgia. Tempat ini terasa seperti museum hidup di tengah alam. Selama kami berada di Uplistsikhe, kami ditemani guide lokal yang menjelaskan sejarah Uplistsikhe. Wilayah ini sudah dihuni manusia sejak 2000 tahun sebelum masehi.

Mirip dengan Cappadocia di Turki, bangunan tempat tinggal di Uplistsikhe ini dipahat di dinding gunung batu. Jejak pergantian peradaban terlihat jelas di situs ini, sebagian bangunan merupakan tempat ibadah paganisme dengan altar persembahan, sebagian bangunan dipahat dengan pilar-pilar yang menunjukan pengaruh budaya kerajaan Roma, dan sebagian lagi terpengaruh agama Kristen lengkap dengan gerejanya. Pada abad 14, lokasi ini ditinggalkan karena penduduknya berpindah ke kota Mtskheta.



Kami makan siang di Chateau Uplistsikhe, restoran lokal dengan pemandangan bukit dan kebun anggur lokal yang sangat menyegarkan mata. Gega merekomendasikan beberapa makanan khas Georgia seperti Khinkali dan Chashushuli (beef stew).

Setelah makan siang, kami lanjut ke kota Gori, kampung halaman Joseph Stalin. Kami mengunjungi Museum Stalin yang penuh dengan memorabilia, foto, dan bahkan gerbong kereta asli yang pernah digunakan Stalin. Tempat ini memberi sudut pandang menarik tentang sosok yang kontroversial dalam sejarah dunia. Meskipun Stalin adalah salah satu pemimpin besar Uni Sovyet dan besar pengaruhnya terhadap perkembangan komunisme, warga Georgia umumnya tidak bangga dengan fakta bahwa Stalin lahir dan besar di Gori, Georgia. Generasi muda di Georgia menilai, Stalin tidak ada kontribusinya bagi negara Georgia, hanya numpang lahir saja di Georgia, dia lebih banyak berkontribusi pada Uni Sovyet / Rusia. Hubungan politik Georgia dan Rusia memang kurang baik. Sejak bubarnya Uni Sovyet pada tahun 1991, yang mengembalikan status Georgia sebagai negara merdeka, Rusia beberapa kali melakukan aksi militer ke Georgia. Beberapa wilayah Georgia seperti South Ossetia dan Abkhazia, sejak tahun 2008 sampai hari ini diduduki militer Rusia. Warga negara Georgia tidak diperkenankan masuk ke wilayah yang dikuasai Rusia ini. Satu ruangan di musium Stalin ini digunakan pemerintah Georgia untuk memuat foto-foto dan dokumentasi invasi Rusia ke Georgia pada tahun 2008.



Sore hari kami kembali ke Tbilisi untuk melakukan city tour. Perhentian pertama, kami naik kereta gantung ke Patung Mother of Georgia. Saat keluar dari stasiun cable car, seorang seniman accordion menyapa kami dan bertanya dari mana. Saat kita jawab dari Indonesia, dia langsung memainkan lagu Indonesia Raya dengan accordion nya. Suatu kejutan yang menyenangkan.

Guide kami Gega menginformasikan bahwa seniman tersebut hafal hampir seluruh lagu kebangsaan dari negara-negara dunia. Kami lanjut berjalan ke arah patung Mother of Georgia. Patung ini berbentuk wanita yang memegang pedang dan cawan. Dibangun pada era Uni Sovyet pada tahun 1958, patung ini memiliki ketinggian 20 meter dan berdiri di puncak bukit. Dari platform di sekitar patung ini, kami menikmati panorama kota tua Tbilisi yang indah saat matahari mulai tenggelam.



Untuk makan malam, kami mencari suasana berbeda dan makan di Shang Yuan Chinese Restaurant di kota tua. Rasanya unik menikmati masakan Tiongkok di tengah suasana kota tua Eropa Timur. Makanannya enak-enak, cocok untuk menetralisir selera kami yang sudah seminggu terus makan dengan menu Caucasian food. Pemilik restoran sangat ramah, dia cerita pernah ke Bali dua kali untuk acara keagamaan. Malam ditutup dengan berjalan kaki santai menyusuri Old Town Tbilisi. Jalan-jalan batu, lampu-lampu kuning temaram, kafe-kafe kecil, dan arsitektur klasik memberi kesan romantis dan damai. Ini adalah cara sempurna mengakhiri perjalanan kami di Georgia. Besok pagi, kami akan melanjutkan perjalanan lewat darat ke Armenia.



Perjalanan 5 hari 4 malam di Georgia sungguh luar biasa, paduan antara sejarah kuno, alam pegunungan yang dramatis, pengalaman main salju pertama untuk cucu kami, kuliner yang lezat dan budaya wine yang unik, serta kota tua yang penuh kehidupan. Dari Telavi yang tenang hingga Tbilisi yang semarak, setiap sudut negara ini meninggalkan kesan mendalam. Georgia bukan sekadar destinasi, tapi pengalaman yang akan selalu dikenang.

Tinggalkan komentar