Hari terakhir di Tanzania, 30 Januari 2025, kami dedikasikan untuk menjelajahi Zanzibar, sebuah pulau eksotis yang kaya akan sejarah dan budaya. Sekitar jam 06.00 pagi, kami naik taksi dari hotel, menuju pelabuhan ferry. Tiba di pelabuhan ferry, suasana sangat hiruk pikuk, banyak sekali calo yang menghampiri kami dan menawarkan tiket, tapi kami tidak meladeni dan memilih menuju konter tiket resmi dan membeli tiket Zan Fast Ferry untuk keberangkatan pukul 07.00 pagi. Harga tiket return Dar Es Salaam – Zanzibar USD 70 per orang.


Setelah tiket aman di tangan, kami menuju boarding area, yang lokasinya terasa sumpek, calon penumpang ferry berdesak-desakan tidak tertib, sistem free seating tanpa reservasi kursi membuat penumpang berlomba-lomba masuk ferry lebih dahulu agar mendapatkan tempat duduk dengan posisi terbaik. Setelah menempuh perjalanan laut selama 1,5 jam, kami tiba di Pelabuhan Zanzibar sekitar pukul 08.30. Proses keluar ferry juga terasa kacau, sekitar 500 penumpang yang keluar dari ferry bersamaan, harus melewati satu gerbang besi yang sempit, desak-desakan tidak terhindari. Konyolnya, setelah sampai di gerbang, kami diminta menunjukkan ID, setelah menunjukkan paspor, petugas meminta kami kembali ke dalam, dan menuju imigrasi. Rupanya, meskipun Zanzibar merupakan pulau yang berada di negara Tanzania, mereka memiliki imigrasi sendiri. Ini merupakan warisan dari sejarah Tanzania. Dulunya, Zanzibar adalah negara merdeka, di tahun 1964 Zanzibar bergabung dengan Tanganyika membentuk negara baru, Tanzania. Kami harus mengisi formulir imigrasi dan membayar asuransi wajib sebesar USD 44 per orang, karena Zanzibar memiliki sistem administrasi dan layanan kesehatan yang berbeda dari daratan utama Tanzania.


Setelah menyelesaikan proses imigrasi yang cukup melelahkan, kami memulai petualangan dengan sarapan di Mercury Restaurant, restoran tepi pantai yang dinamai dari Freddie Mercury, vokalis legendaris Queen yang lahir di Zanzibar. Restoran ini terletak persis di sebelah pelabuhan ferry. Sambil menikmati hidangan sarapan continental breakfast, kita dapat menikmati pemandangan pantai berpasir putih dengan laut yang biru jernih, juga melihat kesibukan kapal dan ferry lalu lalang di sekitar pelabuhan.



Dari sana, kami berjalan kaki menjelajahi Stone Town, pusat sejarah Zanzibar yang merupakan salah satu dari situs Warisan Dunia UNESCO. Beberapa tempat menarik yang kami kunjungi antara lain Old Dispensary, Bangunan bersejarah dengan arsitektur kolonial yang indah, dulunya digunakan sebagai apotek dan rumah sakit. Bangunan berbahan kayu dengan warna dominan hijau muda ini terlihat begitu dominan di tepi pantai Zanzibar. Di Sebelahnya terdapat hotel dengan bangunan yang juga terlihat antik warisan kolonial Portugis. Zanzibar memiliki sejarah panjang kolonialisme, mulai dari penguasaan oleh Portugis antara abad 15-17, kemudian dikuasai oleh kesultanan Oman pada abad 18-19, sampai kemudian dikuasai Inggris pada abad 19. Karenanya arsitektur Portugis dan Arab banyak mendominasi bangunan-bangunan di pulau Zanzibar.



Kami melanjutkan jalan kaki di Stone Town. Memasuki lorong-lorong kota yang sempit dan tiba di kawasana Madrasa, disini terdapat beberapa sekolah dari tingkat SD sampai SMA, sebagian gedung sekolah ini menempati gedung dengan arsitektur yang indah, dengan pintu-pintu penuh ukiran. Sekolah-sekolah dengan kurikulum pendidikan Islam ini menjadi pusat pendidikan di Zanzibar sejak masa kolonial sampai saat ini. Selanjutnya kami melangkahkan kaki menuju Old Fort. Bangunan benteng tua yang dibangun oleh kesultanan Oman pada abad ke-17 untuk mempertahankan Zanzibar dari serangan bangsa Portugis yang ingin berkuasa kembali.


Tujuan berikutnya adalah alasan utama saya mengajak keluarga berkunjung ke Zanzibar. Rumah kelahiran Freddie Mercury yang kini dijadikan hotel dan Museum. Freddie Mercury, vokalis band legendaris Queen, lahir di Zanzibar pada tanggal 5 September 1945. Orang tua Freddie, Bomi Bulsara dan Jer Bulsara adalah orang Persia yang bermigrasi ke Zanzibar, ditugaskan oleh pemerintah kolonial Inggris, saat Zanzibar dikuasai Inggris.



Saat lahir, orangtuanya memberi nama Faroukh Bulsara. Saat Faroukh berumur 7 tahun, orangtuanya mengirim dia ke Bombay, India, untuk bersekolah disana, tinggal bersama kerabatnya. Tahun 1964, saat terjadi revolusi Zanzibar, keluarga Freddie mengungsi ke Inggris, dan pada tahun 1969 mereka resmi menjadi warga negara Inggris. Freddie Mercury Museum di Stone Town Zanzibar ini banyak memuat foto-foto Freddie sejak bayi, masa kecil dan remaja di Zanzibar dan Bombay.




Tentunya, foto-foto dan memorabilia Freddie semasa dia menjadi vokalis Queen menjadi fitur utama dari museum ini. Museum ini pendiriannya dibantu oleh gitaris Queen, Brian May. Dia menyumbangkan beberapa memorabilia Queen untuk dipajang di museum ini. Tiket masuk museum ini cukup murah, USD 8 per orang. Saat saya disana, cukup banyak pengunjung yang datang untuk mengenang kehidupan dan karya Freddie Mercury, melihat berbagai foto dan memorabilia tentang masa kecil Freddie di Zanzibar. Lagu-lagu Queen yang diputar non-stop di musem ini membuat kunjungan saya di museum ini semakin berkesan. Pada salah satu ruangan di museum ini, dipajang grand piano dan kostum Freddie yang ia gunakan pada konser Live Aid tahun 1985. Sekitar satu jam saya menghabiskan waktu di museum Freddie Mercury yang ukurannya cukup kecil, membaca satu-persatu display yang dipajang di museum, tak lupa mengambil banyak foto dan video disini.




Berikutnya, kami melanjutkan eksplorasi ke kawasan Cannon Beach, pantai kecil dengan pemandangan indah dan jajaran meriam tua yang menjadi saksi sejarah pertahanan Zanzibar sejak ratusan tahun lalu. Setelah menjelajahi kota tua, kami kembali ke Mercury restaurant untuk makan siang, sambil menunggu ferry yang akan membawa kami kembali ke Dar Es Salaam pada pukul 14.30. Setelah makan, kami menuju pelabuhan Ferry, saat keluar Zanzibar ini kita tidak lagi melewati pos imigrasi.


Kami tiba kembali di Dar Es Salaam sekitar pukul 16.30, langsung menuju hotel untuk mengambil bagasi kami dan berangkat lagi ke bandara. Pukul 20.40, kami naik pesawat Kenyan Airways kembali ke Nairobi, menutup perjalanan luar biasa di Tanzania. Dari safari di Tarangire, menikmati Kilimanjaro dari Materuni, hingga menyusuri Stone Town di Zanzibar, pengalaman ini benar-benar tak terlupakan. Bagi pecinta alam liar, budaya, dan sejarah, Tanzania adalah destinasi yang wajib masuk dalam daftar perjalanan. Saya berharap suatu hari bisa kembali dan menjelajahi lebih banyak tempat indah di negara ini.