Setiap negara Balkan yang saya kunjungi pada Februari 2024 merupakan negara yang indah dan menakjubkan, dari segi alam maupun peninggalan sejarahnya. Secara historis, Balkan digunakan untuk menyebut wilayah Eropa Tenggara yang saat ini terdiri dari negara Rumania, Moldova, Bulgaria, Yunani, Albania, dan negara pecahan Yugoslavia seperti Serbia, Kroasia, Slovenia, Makedonia Utara, Bosnia &
Herzegovina, dan Montenegro.
Napak tilas yang saya lakukan di negara-negara Balkan memberikan pelajaran sejarah masa kelam, dimana kawasan ini terjadi perang saudara pada awal 1990-an. Perjalanan saya saat ini di kawasan Balkan menyadarkan betapa esensialnya perdamaian. Sejarah kelam yang terjadi di kawasan tersebut diistilahkan sebagai “Balkanisasi”, yang berkonotasi sebagai upaya pemisahan dan perpecahan dari sebuah negara kesatuan. Khusus Yugoslavia, saya memiliki ikatan emosional sejak lama berkeinginan mengunjungi
negara tersebut pasca perang saudara. Keinginan tersebut bukan karena kakak ipar pernah ditugaskan Pemerintah RI sebagai anggota pasukan penjaga perdamaian di bawah bendera PBB, namun jauh sebelum itu pada tahun 1958, Ayahanda sebagai anggota TNI-AL dianugerahi Bintang Republik Yugoslavia Kelas III oleh Josip Broz Tito.

Pasca Perang Dunia II, Uni Soviet dengan ideologi komunisnya mencengkram Balkan. Pemerintahan beberapa negara Balkan pun dikuasai komunis yang didukung Uni Soviet. Saat terlepas dari Uni Soviet, Yugoslavia dipimpin Josip Broz Tito (1953-1980). Tito sahabat dekat Presiden Soekarno. Lima sahabat Soekarno, Tito, Nehru (PM India), Naser (Presiden Mesir), Nkrumah (Presiden Ghana) kemudian bersepakat mendirikan Gerakan Non Blok. Setelah Tito meninggal pada Mei 1980, tidak muncul
pemimpin sekuat Tito di Yugoslavia. Pada awal 1990-an, Yugoslavia pecah menjadi beberapa negara. Singkat kata, akibat perang saudara dan pertumpahan darah terus menerus, Yugoslavia pun bubar, terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Setelah meninggalkan Kota Dubrovnik, Kroasia, dengan ikon Dubrovnik City Square dimana serial film Game of Thrones dibuat, bus wisata berjalan menuju kota ke-16 dari 22 kota kunjungan wisata Balkan yakni Mostar. Mostar, kota kedua yang kami kunjungi di Bosnia & Herzegovina setelah bermalam di
Trebinje. Saat berjalan dari parkiran bus menuju jembatan Mostar, mata terpana melihat deretan rumah dengan banyaknya lubang bulat besar menghiasi dindingnya, itulah sisa dari bombardir senapan mesin mencerminkan keganasan perang saudara yang sekarang menjadi monumen.

Stari Most atau yang juga dikenal sebagai jembatan tua Mostar, adalah salah satu ikon Kota Mostar. Jembatan Stari Most memiliki arti jembatan tua. Jembatan yang terlihat megah ini melintang di atas sungai Neretva dan menghubungkan dua bagian Kota Mostar. Jembatan Stari Most bergaya Ottoman abad ke-16 yang menghubungkan kedua sisi kota terus menjadi simbol utama Kota Mostar. Jembatan ini pernah menjadi lengkungan buatan manusia terluas di dunia, berdiri gagah selama lebih dari 400 tahun. Sayangnya jembatan yang kita lihat saat ini merupakan rekonstruksi dari jembatan aslinya yang hancur akibat tembakan artileri pada tahun 1993.

Tahun 2004, pembangunan kembali jembatan selesai dan menjadi situs warisan dunia UNESCO. Desain jembatan ini merupakan mahakarya arsitektur, yang mencerminkan ketrampilan yang sangat indah pada masanya. Stari Most memiliki lengkungan elegan dengan bentang lebih dari 28 meter, menjulang 24 meter di atas permukaan air. Terbuat dari batu kapur lokal, lengkungan jembatan yang anggun dan pilar pilar ramping berpadu harmonis dengan lanskap sekitarnya menjadikan tontonan visual
yang sesungguhnya. Lengkungannya menciptakan pantulan menakjubkan pada perairan di bawahnya.
Jembatan ini juga jadi lokasi para pemuda lokal untuk melakukan tradisi mereka. Pemuda biasanya akan minum dan berkumpul sebelum mereka terjun ke sungai dari atas jembatan. Mereka percaya apabila mereka tidak terjun ke sungai dari titik tertinggi jembatan akan sulit menemukan pekerjaan. Selain itu, hal ini juga untuk menguji keberanian para pemuda lokal di Kota Mostar. Stari Most lebih dari sekedar struktur, itu mewakili pesatuan dan ketahanan. Jembatan ini telah mengalami sejarah perang dan rekonstruksi penuh gejolak.

Sayangnya selama perang Bosnia 1990-an, Stari Most yang asli hancur. Namun dalam bentuk kerjasama yang luar biasa, masyarakat lokal dan internasional bersatu untuk membangun kembali jembatan tersebut menggunakan teknik tradisional dan batu asli yang diambil dari dasar sungai. Bongkahan batu berukir dengan kata kata “Don’t Forget 93” terpasang sebelum memasuki jembatan, mengingatkan kita akan kerusakan, rasa sakit, dan keberanian untuk bangkit kembali setelah perang Bosnia menghancurkan kota tersebut.

Napak tilas bergeser ke Ibu Kota Sarajevo, memasuki area Bascarsija, bercak merah di aspal menyambut saat memasuki kota tersebut. Bercak merah tersebut dikenal sebagai Mawar Sarajevo yang merupakan salah satu dari sisa pengepungan kota selama perang Bosnia. Ada sekitar 200 mawar yang tersebar di seluruh kota. Tugu peringatan tersebut masing masing menandai lokasi di mana setidaknya tiga orang terbunuh. Pengepungan berlangsung selama 1417 hari sebagai pengepungan ibu kota terlama dalam sejarah peperangan modern. Bangsa Indonesia harus belajar dari sejarah Balkanisasi yang terjadi di bekas negara Yugoslavia yang menyebabkan kehancuran dan perpecahan menjadi negara kecil dengan sejarah yang memilukan.
Naskah dan Foto: Lutfi Sriyono (l.sriyono@gmail.com)