Jejak Hotel Des Indes di Batavia

Keseruan Genk Halan-Halan berlanjut di tengah bulan September 2024 lalu. Genk berkumpul di Halte Transjakarta Bundaran HI dan sejenak berfoto berlatar belakang patung Selamat Datang sungguh menghasilkan panorama indah di pagi nan cerah.

Dalam sepenggal jalan di Jln Gajah Mada, kita akan mengenal riwayat 2 tokoh Tionghoa yang punya andil penting di kota Jakarta tempo dulu, mereka itu adalah : Kapten Phoa Beng Gan dan Major Khouw Kim, termasuk tentang sejarah 2 hotel beken di Batavia di lokasi yang dulu amat strategis, namun sekarang hanya tinggal kenangan manisnya aja yang tersisa. Tidak luput kisah tentang roemah tetirah Reiner de Klerk yang telah jadi Gedung Arsip Nasional dan diakhiri dengan santap siang di Gado-Gado Direksi ditutup Kopi Es Tak Kie yang keberadaannya ada sejak tahun 1927.

Pemberhentian pertama halte Transjakarta Harmoni, berjalan balik arah sekitar 200 meter, berhenti di pelataran gedung tua terbengkalai dan di seberangnya berdiri pertokoan Duta Merlin, dahulu disitu beroperasi Hotel Des Indes (1856-1960). Ada lagu gubahan Guruh Sukarno Putera mengabadikan hotel tersebut, walaupun bertutur tentang romansa sejatinya memberi makna betapa pentingnya arti sebuah kemerdekaan bagi negara yang terjajah Belanda hingga 350 tahun.

Guruh pun merilis lagu Nostalgia Hotel Des Indes mengambil suasana pada zaman Belanda. Berlangsung di Hotel Des Indes, tempat kaum feodal dan priyayi berdansa dansi menebar keriaan. Sepenggal lirik awal dari lagu tersebut : “Ini ada seboeah lagoe romantis. Kisah dari seorang priboemi. Dia itoe student yang verlief dengan satoe perempoean jang siapa dengan berkebetulan dia djoempa di Hotel Des Indes. Namoen sayang itoe pemoeda koetjiwa kerna dia poenya maoe terloepoet”. Sang pelajar minder, dia hanya seorang pribumi yang tentunya hanya dipandang sebelah mata dibanding kaum kulit putih. Dia hanya bisa memendam dalam hati seraya bergumam “Kapankah Ost Indie (Hindia Belanda) djadi merdeka?”.

Dalam sejarahnya, Des Indes yang konon namanya disematkan oleh Multatuli (Eduard Douwes Dekker) memang menjadi ikon hotel termewah dan mahal di masanya. Sebagai salah satu hotel yang paling dituju di Hindia Belanda, hotel mengedepankan makanan sebagai nilai jual. Rijsttafel misalnya, sangat lekat sebagai ciri hotel ini, di mana makanan disajikan secara beruntun dengan berbagai pilihan hidangan. Makan siang disajikan oleh 24 orang pelayan yang berbaris memanjang mulai dari dapur hingga ke meja makan, lalu kembali ke dapur dengan berbaris. Setiap pelayan membawa sepiring makanan berisi salah satu lauk dari keseluruhan lauk untuk rijsttafel yang terdiri dari makanan tradisonal maupun makanan Eropa.

Abdurakman dari Universitas Indonesia menulis, Hotel Des Indes adalah hotel legendaris di Hindia Belanda. Berbagai peristiwa sejarah yang terkait perjalanan bangsa Indonesia berlangsung di dalamnya . Des Indes merupakan hotel tempat Perjanjian Roem Royen di tandatangani, kelak perjanjian ini mengantarkan diadakannya Konferensi Meja Budar serta berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebelumnya, saat proklamasi kemerdekaan sedang dipersiapkan 16 Agustus 1945, hotel direncanakan menjadi lokasi pertemuan para pemimpin bangsa. Namun, karena peraturan hotel yang tidak membolehkan adanya kegiatan setelah pukul 22.00, lokasi pertemuan akhirnya pindah ke kediaman Laksamana Maeda di kawasan Menteng Jakarta. Hotel pernah menjadi tempat menginap para delegasi Konferensi Asia Afrika. Bahkan kamar 136 Hotel Des Indes menjadi tempat keberadaan Otak Peristiwa Cikini yang ingin membunuh Presiden Sukarno di tahun 1957.

Selasar gedung tua dimana kami berdiri mengeksplorasi Hotel Des Indes dari kejauhan dulunya merupakan sebuah hotel yang bergengsi di jaman Hindia Belanda yaitu Hotel des Galeries dekat persimpangan Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Ir. H. Juanda yang juga terkenal dengan adanya Jembatan Harmoni (1905), pada bagian tengah jembatan tegak berdiri hingga kini patung Dewa Hermes dewa perniagaan dalam mitos Yunani. Tepat di depan Hotel des Galeries terdapat Molenvliet yaitu sebuah kanal sungai yang dibangun di zaman Hindia Belanda guna mengalirkan luapan air di sekitar daerah tersebut untuk dialirkan ke laut utara Batavia. Dibangun di bawah pimpinan Kapten Tionghoa bernama Phoa Beng Gan pada abad ke-17. Daerah ini menghubungkan Oud Batavia (Kota Tua) dan Weltevreden (Lapangan Banteng dan Monas) serta menjadi daerah komersial dan permukiman elite.

Ada cerita menarik dibalik beroperasinya Hotel des Galeries, dikarenakan ketersinggungan seorang Arab yang waktu itu ditolak menginap di Hotel Des Indes karena adanya larangan menginap bagi orang-orang non Eropa semasa zaman Hindia Belanda. Tersinggung dan marah, si orang Arab tersebut membangun hotel sendiri yang tak kalah hebatnya dengan Des Indes terletak tepat berseberangan dengan hotel Des Indes. Pada masa Hindia Belanda, masyarakat Indonesia dibagi menjadi tiga golongan yang bertujuan menentukan sistem hukum yang berlaku : 1. Golongan Eropa, 2. Golongan Timur Asing terdiri : Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa seperti Arab dan India, 3 Golongan Bumiputera adalah semua orang asli dari Hindia Belanda

Perhentian selanjutnya halte Transjakarta Sawah Besar. Hanya sepelemparan batu dari Halte Sawah Besar berdiri tegak megah tanpa teras depan, gedung kuno bergaya Eropa dengan cat serba putih, dilengkapi jendela kayu besar di kedua lantainya, itulah roemah tetirah Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-31 Reinier de Klerk (1710-1780) yang saat ini digunakan sebagai Pusat Studi Arsip Statis Kepresidenan. Tahun 1990an ada kabar angin gedung akan dibongkar untuk dibangun pertokoan. Gedung diselamatkan sekelompok usahawan Belanda yang mendirikan sebuah yayasan, yayasan ingin memberikannya sebagai hadiah ulang tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-50. Yayasan mengumpulkan dana untuk memugarnya dan menjadikannya sebuah museum. Sekarang di bagian halaman belakang berdiri gedung baru yang difungsikan sebagai pameran arsip kepresidenan. Sebuah gedung bertingkat unik bewarna abu-abu dengan atap bergaya Victoria, ah ciamik untuk di foto laksana suasana Eropa di tengah area Pecinan Jakarta.

Dari tiga bangunan keluarga Khouw, hanya satu yang tersisa.dua lainnya musnah dan telah berdiri bangunan baru berfungsi sebagai SMAN 2 (bekas milik Khouw Tjeng Po). Bangunan lainnya milik Khouw Tjeng Kee pernah digunakan sebagai Kedutaan Besar RRC dan ditinggalkan pasca peristiwa G30S PKI tahun 1965, sekarang di atas lahan tersebut berdiri gedung komersial seperti hotel, perkantoran, pertokoan. Bangunan yang dilestarikan Candra Naya namanya, merupakan bekas kediaman Major Tionghoa Khouw Kim An, kepala bangsa Tionghoa di Batavia yang terakhir, jabatan major baru diberlakukan pada tahun 1837 di mana sebelumnya pangkat tertinggi bagi orang Cina adalah kapten atau letnan. Memiliki arsitektur Tionghoa yang khas dan merupakan salah satu dari dua kediaman mayor Tionghoa lainnya yang masih ada ialah bangunan Toko Kompak di Pasar Baru, bekas kediaman Mayor Tionghoa Tio Tek Ho.

Tak terasa perjalanan sudah mendekati jam makan siang, saatnya melepas rasa penat dan mengisi perut yang mulai berasa lapar. Blusukan diarahkan ke gang Gloria-Glodok. Gado-Gado Direksi menunggu. Dinamakan direksi karena merupakan gado-gado idamannya para direksi bank yang berkantor di bilangan Kota Tua Jakarta. Menutup perjalanan, melemaskan kaki sambil menyeruput kopi es di kedai Kopi Es Tak Kie. Kedai Kopi Es Tak Kie sudah melewati masa penjajahan Belanda, Jepang hingga Kemerdekaan. Suasana tempo dulu yang diberikan bangunan tua itu sungguh apa adanya. Jangan harapkan ada pendingin ruangan apalagi wi-fi, hanya ada kipas angin tergantung di dinding tapi inilah katanya layak disebut kopitiam alias kedai/warung kopi. Berdagang dua macam menu saja. Kopi atau kopi susu. Dengan atau tanpa es.

Naskah : Lutfi Djoko D, lutfidjoko@gmail.com

Foto : Lutfi dan Nilam

Tinggalkan komentar