Jejak Empat Kapitan Tionghoa di Batavia

Pada masa kolonial Hindia Belanda, pemerintah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) mengatur keberadaan komunitas Tionghoa di Batavia melalui sistem Kepemimpinan yang disebut Kapitan Tionghoa. Menurut Wikipedia institusi Kapitan memiliki tiga pangkat, yaitu Majoor, Kapitein dan Luitenant. Jabatan ini diberikan kepada tokoh tokoh Tionghoa yang dipercaya untuk mengawasi komunitas, mereka mengumpulkan pajak serta menjaga ketertiban dan hubungan dengan pemerintah kolonial. Seiring waktu, beberapa kapitan tidak hanya menjadi pengelola komunitas, tetapi juga berperan penting dalam pengembangan infrastruktur dan ekonomi Batavia. Dari sekian banyak kapitan yang pernah menjabat, empat nama yang jejaknya dapat kami telusuri : Souw Beng Kong, Phoa Beng Gan, Tio Tek Ho dan Khouw Kim An, masing masing memiliki sumbangsih yang unik dan bersejarah bagi Batavia.

Kapitan Souw Beng Kong adalah Kapitan Tionghoa yang pertama di Batavia,  diangkat oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada awal abad ke-17 setelah VOC menaklukan Jayakarta dan menggantinya dengan Batavia. Makam JP Coen sekarang menjadi bagian Museum Wayang, tetapi beberapa sejarawan meragukan jasad  terdapat di tempat tesebut.

Souw dikenal sebagai sosok yang kuat dan berpengaruh, mampu menjaga hubungan baik antara pemerintah kolonial Belanda dan komunitas Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya, komunitas Tionghoa berkembang pesat, terutama dalam bidang perdagangan dan perkebunan. Keberhasilan Souw dalam memimpin menjadi fondasi bagi kapitan kapitan berikutnya. Di bawah kepemimpinannya, komunitas Cina mulai mendapatkan pengakuan dan tempat dalam struktur sosial Batavia, berkontribusi dengan tenaga kerja dan keahlian yang mereka miliki. Saat ini jika kita menyusuri Jl. Jayakarta, Mangga Dua, Jakarta Barat, hanya ada satu papan petunjuk. Yakni, arah menuju satu gang tempat makam Kapitan Souw Beng Kong, makam berada di gang Taruna . Sebelum makam selesai dipugar pada akhir tahun 2008, warga setempat tidak ada yang tahu siapa yang terbaring di pemakaman itu.

Selanjutnya, Kapitan Poa Beng Gan adalah sosok penting dalam sejarah infrastruktur Batavia. Sebagai pendiri kanal Batavia yang disebut juga kanal Molenvliet, sampai saat ini kanal masih berfungsi membelah Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk. Ia berperan besar dalam pengembangan transportasi air di kawasan tersebut. Kanal yang dibangunnya tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga memperbaiki sistem drainase yang ada pada saat itu sangat diperlukan. Upayanya menjadikan daerah tersebut lebih terorganisir dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Kontribusi Phoa juga melibatkan peningkatan aktivitas pedagangan, yang pada gilirannya memberi dampak positif terhadap perekonomian lokal.

Kapitan keempat Batavia adalah Tio Tek Ho  tokoh yang tak kalah penting, bekas kediamannya  di Pasar Baru masih tegak berdiri sebagai bekas toko Kompak (d/h toko Sin Siong Bouw).  Toko Kompak salah satu dari dua bangunan Kapitan Tionghoa yang masih bertahan di Jakarta. Dengan satu bangunan lainnya adalah Candra Naya dari abad ke-19 yang terletak di Jalan Gajah Mada. Kapitan Tio Tek Ho memiliki sepupu bernama Tio Tek Hong dikenal sebagai pendiri toko serba ada (toserba) pertama di Batavia dengan label harga, sehinga harganya tidak dapat di tawar, sebuah praktek yang tidak biasa pada saat itu, bekas bangunan toko Tio Tek Hong hingga kini masih ada di Jl. Pasar Baru no. 93 (toko populer) dan di jalan Pintu Air (bawah papan hijau penunjuk jalan). Tio Tek Hong juga memiliki perusahaan rekaman yang berjasa dalam merekam lagu lagu, termasuk lagu kebangsaan Indonesia “Indonesia Raya”. Perusahaan rekamannya menjadi salah satu pelopor dalam industri musik di Indonesia, menunjukan bahwa komunitas Tionghoa tidak hanya aktif di bidang perdagangan, tetapi juga berkontribusi pada perkembangan budaya dan seni. Inovasi Tio dalam bidang perdagangan modern menjadi cikal bakal bagi perkembangan ritel di Batavia hingga saat ini.

Kapitan terakhir dalam daftar ini adalah Khouw Kim An, yang menjabat hingga tahun 1945. Masa jabatannya bertepatan dengan periode perubahan besar di Indonesia, di mana negara ini berjuang untuk merdeka dari penjajahan, ia juga adalah salah satu pendiri Javasce Bank cikal bakal Bank Indonesia. Bekas kediaman Kapitan Khouw Kim An sekarang dikenal sebagai gedung Candra Naya terletak di Jl. Gajah Mada no. 188 atau tepatnya di dalam superblock Green City Square memiliki bentuk atap melengkung dan terbelah di kedua ujungnya seperti ekor walet atau yanwei. Ornamen ini menandakan status sosial tinggi si penghuni rumah. Khouw Kim An  pada tahun 1945 ikut pergerakan, ditangkap dan meninggal di penjara Cimahi.  (kompas.com 25 Januari 2017).

Keempat Kapitan Tionghoa  ini tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pilar dalam pembangunan masyarakat Batavia. Melalui kontribusi mereka di berbagai bidang  dari  infrastruktur hingga budaya, komunitas Tionghoa di Batavia tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang. Warisan yang mereka tinggalkan masih dirasakan hingga saat ini, membentuk identitas masyarakat Jakarta yang multikultural.

Naskah dan foto: Lutfi Djoko D (lutfidjoko@gmail.com)

Tinggalkan komentar