Sejak lama saya berkeinginan berkunjung ke Tibet, terinspirasi dari komik Tintin in Tibet, yang menceritakan perjuangan Tintin, Snowy dan Kapten Haddock menyelematkan sahabat mereka Chang, yang terdampar di gunung Everest karena kecelakaan pesawat.

Namun Tibet bukanlah wilayah yang mudah dikunjungi, sejak Tibet berada dibawah kontrol China pada 24 Oktober 1951, pemerintah China membatasi kunjungan orang asing ke Tibet. Wisatawan yang ingin berkunjung ke Tibet harus bergabung dalam organized tour, yang bekerja sama dengan agen wisata dari China, dan memiliki izin khusus untuk memasuki Tibet, selain visa China. Izin khusus ini hanya dapat diberikan oleh agen wisata dari China. Karenanya, untuk berkunjung ke Tibet pada Oktober 2023, saya dan anak saya Rizki ikut serta dalam paket tour ke Tibet.

Kami berangkat dari Jakarta pada 14 Oktober 2023, dengan menaiki pesawat Cathay Pacific, dengan waktu transit sekitar 5 jam di Hong Kong. Waktu transit ini kami manfaatkan untuk keluar bandara naik kereta Airport Express dan jalan-jalan di sekitar Causeway Bay. Siangnya kami melanjutkan perjalanan ke Chongqing, kota terbesar ke 5 di China, untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya ke Lhasa, ibukota Tibet. Sekitar jam 6 sore kami tiba di Chongqing, dan menuju Orange hotel di pusat kota Chongqing. Lokasi hotel sangat dekat dengan salah satu sentra kuliner di Chongqing, malam itu kami mencoba makanan khas Chongqing, hot pot daging sapi, kulit tahu, jamur dan sayuran, dengan bumbu khas mala. Rasa kuahnya pedas namun segar. Selesai makan malam, kami berjalan-jalan di sekitar Chongqing, kota metropolitan yang sangat modern dan bersih.

Pagi hari 15 Oktober, kami meninggalkan hotel menuju bandara Chongqing. Pukul 11.15, kami menaiki China Southern Airlines menuju Lhasa. Sekitar jam 3 sore kami tiba di Lhasa, yang memiliki ketinggian sekitar 3.800 meter diatas permukaan laut. Tibet sering disebut sebagai atap dunia, karena berada di punggung Everest, gunung tertinggi di dunia. Bandara Lhasa adalah salah satu bandara dengan elevasi tertinggi di dunia.

Sampai di hotel Metropolo, Lhasa, acara bebas. Saya dan Rizki makan malam di pasar malam dekat hotel. Di pasar malam ini banyak restoran halal di resto makanan khas Xinjiang, yang mayoritas warganya muslim etnis Uighur. Mayoritas menunya berbahan daging Yak, hewan sejenis kerbau yang berbulu tebal. Selesai makan malam kami kembali ke hotel untuk beristirahat.

Pada 16 Oktober pagi, kami memulai tour di kota Lhasa. Tujuan pertama kami adalah Jokhang Temple. Terletak di pusat kota Lhasa, Jokhang Temple adalah kuil paling suci di Tibet. Didirikan pada abad ke-7 oleh Raja Songtsen Gampo, kuil ini menyimpan patung Buddha Jowo Sakyamuni yang sangat dihormati warga Tibet. Arsitektur kuil ini menggabungkan gaya Tibet, Nepal, dan India, menjadikannya situs yang sangat unik.

Wisatawan tidak diperkenankan mengambil foto di dalam kuil, namun di sisi luar diperbolehkan. Sebagai salah satu kuil suci di Tibet, kuil ini ramai didatangi umat Buddha yang beribadah, dengan mengelilingi kuil. Sebagian umat Buddha yang mengelilingi kuil ini melakukannya dengan gerakan bersujud dan merayap di lantai.


Jalanan di sekitar Jokhang temple ini dikenal sebagai Barkhor Street dan merupakan rute ziarah penting bagi umat Buddha Tibet. Barkhor Street juga merupakan pusat perbelanjaan yang ramai, di mana anda dapat menemukan berbagai barang kerajinan tangan tradisional Tibet, makanan lokal maupun internasional seperti KFC dan Pizza Hut. Di sepanjang Barkhor street juga banyak studio foto dan penyewaan pakaian tradisional Tibet.


Kemudian kami menuju Sera Monastery, yang didirikan pada tahun 1419 oleh Jamchen Chojey. Sera Monastery adalah salah satu dari tiga biara pendidikan besar di Lhasa. Biara ini terkenal dengan debat para biksu yang diadakan setiap sore di halaman biara. Debat ini merupakan bagian penting dari pendidikan Buddhis di Tibet. Unik melihat gaya debat para biksu disini, dengan gerakan-gerakan memukul tangan sehingga suaranya cukup riuh.

Hari ketiga di Lhasa, 17 Oktober, kami berkunjung ke landmark utama Tibet, Potala Palace. Istana ini adalah simbol kota Lhasa dan merupakan bekas kediaman Dalai Lama. Dibangun pada abad ke-17 oleh Dalai Lama ke-5, Potala Palace memiliki lebih dari 1.000 ruangan, termasuk kapel, kuil, dan ruang tinggal. Istana ini juga merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO.

Potala Palace dibangun diatas bukit, sehingga terdiri dari banyak lantai. Untuk menuju ruang utama istana, pengunjung harus menaiki ratusan anak tangga. Banyak bagian dari istana ini tidak boleh difoto. Namun demikian, eksterior istana inipun sangat indah untuk dijadikan latar foto bersama.

Setelah makan siang, kami berkunjung ke Tibetan Traditional Handicraft Centre. Pusat ini menampilkan berbagai kerajinan tangan tradisional Tibet, seperti tenunan, ukiran kayu, dan perhiasan.

Wisatawan dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan kerajinan seperti pembuatan incense (dupa). Kami diajari cara membuat dupa dan hasil kreasi peserta boleh dibawa pulang. Ditempat ini wisatawan juga dapat membuat tulisan nama dalam aksara Tibet.


Tanggal 18 Oktober pagi, kami meninggalkan Lhasa, menuju Yamdrok Lake. Danau ini adalah salah satu dari tiga danau suci terbesar di Tibet. Terletak di ketinggian lebih dari 4.400 meter, Yamdrok Lake menawarkan pemandangan yang menakjubkan dengan airnya yang biru jernih dan pegunungan di sekitarnya. Di Yamdrok lake wisatawan dapat berfoto bersama hewan-hewan khas Tibet, antara lain Kambing Pashmina, Anjing Mastiff yang badannya sangat besar dan berbulu panjang, dan hewan Yak. Untuk berfoto dengan hewan ini pengunjung membayar 50 Yuan.


Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Karola Glacier. Gletser ini terletak di sepanjang rute dari Lhasa ke Shigatse. Kita dapat melihat gletser dan gunung-gunung berselimut salju yang megah ini dari dekat dan menikmati keindahan alam sekitarnya. Setelah foto-foto di Karola glacier, kami melanjutkan perjalanan ke kota Shigatse. Kota terbesar kedua di Tibet ini adalah rumah bagi Tashilhunpo Monastery, salah satu biara terbesar di Tibet. Biara ini didirikan oleh Dalai Lama pertama pada abad ke-15 dan merupakan tempat tinggal Panchen Lama.

Keesokan harinya, 19 Oktober, kami meninggalkan Shigatse menuju Rongbuk Monastery. Biara ini adalah biara tertinggi di dunia, terletak di ketinggian sekitar 5.000 meter. Dari sini, kita dapat melihat pemandangan Gunung Everest yang menakjubkan. Rumah-rumah tenpat tinggal biksu di sekitar Rongbuk monastery terlihat cantik dan bersih, dengan dominasi warna putih.

Setelah makan siang kami melanjutkan perjalanan ke Gawula Pass. Terletak di ketinggian lebih dari 5.000 meter, Gawula Pass menawarkan pemandangan spektakuler dari Himalaya, termasuk pemandangan Gunung Everest yang tampak menjulang dari kejauhan.

Sore harinya, kami tiba Everest Base Camp. Base Camp ini terletak di ketinggian 5.200 meter diatas permukaan laut. Kami bermalam dalam satu tenda yang cukup besar. Tenda ini terdiri dari 7 kamar yang masing-masing berisi 2-3 tempat tidur. Di ruang tengah ada ruang makan dan perapian. Dari tenda base camp ini, pemandangan puncak Everest tidak terlalu terlihat, untuk melihat pemandangan tersebut dari titik terbaik, pengunjung harus berjalan kaki sekitar 2 kilometer dengan rute sedikit menanjak. Pada ketinggian diatas 5.200 meter ini kadar oksigen cukup tipis, membuat kita cepat lelah dan nafas tersengal.

Tabung oksigen portabel menjadi alat bantu wajib untuk mengatasi masalah oksigen tipis ini. Setelah berjalan kaki sekitar 30 menit dari tenda, kami tiba di titik untuk menikmati pemandangan puncak gunung Everest, gunung tertinggi di dunia dengan elevasi puncak 8.849 meter diatas permukaan laut.


Pemandangan puncak Everest sore itu sangat indah. Rasa lelah dan sesak nafas akibat oksigen yang tipis terbayar lunas dengan pemandangan yang luar biasa indah. Apalagi menjelang matahari terbenam, warna salju di puncak Everest perlahan berubah menjadi kuning keemasan disinari cahaya matahari senja. Salah satu momen terindah yang pernah saya lihat.


Perjalanan kembali ke tenda base camp terasa lebih mudah dibanding saat berangkat tadi, karena rute yang menurun. Kami makan malam hot pot di dalam tenda, sembari menghangatkan badan, karena suhu udara diluar tenda mencapai minus 12 derajat celcius. Semakin malam, suhu semakin dingin dan puncaknya mencapai minus 16 derajat.

Suhu udara yang sangat dingin dan oksigen tipis membuat saya sulit tidur, akhirnya saya duduk di ruang tengah tenda sambil menghangatkan badan dekat tungku. Tak lama, satu persatu peserta tour juga keluar dari kamar masing-masing karena tidak bisa tidur. Malam itu terasa sangat panjang, tak sabar rasanya menunggu pagi hari dan suhu udara yang lebih hangat.

Foto-foto oleh Nelwin dan Francisca